Suster Maria Ku Pergi
(Sismaku)
Perjalanan cintaku berakhir, kepada seorang gadis berparas cantik menenangkan jiwa. Tak ada yang menandingi senyumnya saat merekah indah dalam paras cantik itu. Matanya begitu indah dan memabukkan jiwa yang melihat keindahan ciptaan Tuhan. Keindahan ciptaan Tuhan tiada bandingan yang hadir dalam dirinya membuat ku semakin mabuk dalam suka. Tak ada yang bisa menghalangi niat ku untuk menjadikannya kekasih hati ku. Aku dengan segenap tekat ku yang bulat akan menyatakan perasaan ku yang telah terpendam lama sejak bertemu dengannya.
Maria namanya, dia bekerja sebagai perawat di salah satu rumah sakit swasta di kota tempat ku tinggal. Aku bertemu dengannya saat mengantar adik kecil ku yang sakit demam. Sejak saat itu aku mulai dekat dengan dirinya yang sangat ramah terhadap setiap orang. Mungkin karena pekerjaannya yang sering bertemu dengan orang lain membuatnya mampu menyesuaikan diri dengan orang lain.
Langkah ku terpaku, seperti sangat berat melangkah menuju ke arahnya di depan sana. Menatap senyumnya yang merekah indah, melemahkan tekad ku yang berhari-hari ku tata dengan mantap. Merobohkan setiap keyakinan yang ku bangun dalam hati untuk ungkapkan perasaan ku padanya. Aku seperti patung bernafas yang tak bisa bergerak saat melihat senyum yang terus terbayang di setiap malam ku. Membuat ku bermimpi indah setiap malam dengan hanya mengingat senyum manis dari suster Maria yang cantik.
“Eh, Rio.” Tiba-tiba suster Maria sudah berada di depan ku. “Sedang apa di sini?, apa Bara sakit lagi??” seperti biasa, keramahannya kepada setiap orang yang ditemuinya.
Bibir ku masih kelu, tak bisa menjawab pertanyaannya. Aku masih terpaku akan pesona dari kecantikan wajahnya, yang ku kagumi. Aku hanya bisa terdiam seribu bahasa seperti orang bisu di depannya.
“Hallo..., Rio, kok bengong aja???” suster Maria kebingungan melihat diri ku yang terdiam.
aku tak bisa berkata, seperti bibir ku tak dapat bergerak, semua keberanian yang ku kumpulkan hilang seketika. Yang keluar dari mulut ku hanya kata ”Hai..”
Suster Maria hanya tersenyum dan pergi berlalu setelah mendengar jawaban ku yang menggelitik hatinya. Dia tak bisa menahan tawa ketika berlalu meninggalkan ku, mungkin karena sikap ku yang aneh dan konyol.
Dalam hati ku berpikir tentang kebodohan yang ku buat, lalu apa gunanya aku menyusun kata-kata sekian hari ini untuk bicara dengan suster Maria, jika sekarang kesempatan ini aku sia-siakan. Aku tak bisa mensia-siakan, ini satu-satunya kesempatan untuk menyatakan perasaan ku. Apa pun yang akan terjadi itu adalah hasil yang terbaik dari usaha ku. Yang ku ingin kan hanya menyatakan perasaan ku pada suster Maria sekarang, dan melegakan perasaan ku.
“Suster...” panggil ku padanya, “Suster Maria” ku perjelas panggilan ku. Langkah ku pun aku percepat untuk sampai kepadanya.
Ia berhenti, memalingkan wajahnya ke arah ku, menunggu ku yang sedang berjalan ke arahnya. Setelah aku sampai di depannya, ia bertanya “Kenapa yo??, ada yang bisa ku bantu??”.
“Aku pengen ngomong sesuatu, tapi jangan marah ya!!”. Ku kumpulkan segenap keberanian yang ku punya untuk mengatakan “Aku suka sama kamu, kamu mau nggak jadi pacar ku??”.
Jantung ku berdetak kencang seperti ingin meledak karena merasakan nerfes yang begitu hebat. Akan kah dia menerima ku jadi kekasihnya atau malah menolak ku. Aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kepadaku jika ia menolak ku. Mungkin jantung ku akan berhenti seketika.
Ia sedikit kaget dengan pernyataanku yang dadakan, terdiam cukup lama untuk mencerna semuanya. Setelah beberapa saat wajahnya kembali tenang dan menatap ku seperti biasanya. Ia masih diam tapi bibirnya mulai merekah kan senyum indah menenangkan hati. Ia pun berlalu tanpa sepatah kata, baik itu jawaban atau penolakan. Aku berpikir ini adalah sebuah penolakan atas permintaan ku padanya, aku muram menunjukkan rasa kekecewaan atas pengharapan yang berlebihan.
Tapi ku kumpulkan keberanian ku untuk bertanya kepadanya, ”Terus gimana??”
Dia berbalik, dan hanya menganggukan kepalanya, tanda yang hampir tak bisa ku mengerti dengan sempurna, tapi dapat ku tahu dia menerima ku menjadi kekasihnya. Aku hampir tak percaya, seolah semua hanyalah halusinasi ku saja. Dan perasaan senang menyelimuti hati ku seperti tak ada hal lain yang bisa membahagiankan ku.
Berhari-hari ku menjalani hubungan dengannya, setip detik yang ku jalani semakin membuat ku jatuh cinta kepadanya.. Setiap minggu aku mengantarkannya ke gereja, menunggunya di depan gereja, walau kadang aku jengkel karena terlalu lama. Kami memang berbeda keyakinan, tapi kami bisa menghormati satu sama lain. Bagi kami keyakinan tak penting untuk menjalin hubungan yang baik.
Menjalani hubungan ini dengannya sungguh sangat indah, sampai tak terasa sudah hampir tiga bulan kami jalan bersama. Sudah banyak kenangan yang kami rangkai sebagai sepasang kekasih. Tapi sampai sekarang aku tak pernah mendapat kesempatan untuk bertemu dengan keluarga Maria. Dia seperti enggan memperkenalkan ku dengan keluarganya, entah karena hal apa. Memang dia tinggal sendiri di kontrakan kecil tak bersama dengan keluarganya. Keluarganya tinggal jauh darinya di kampung halaman tempat asal ia tinggal.
Suatu hari, aku memberanikan diri untuk menanyakan perihal keluarganya. “Bagaimana kabar keluarga kamu??” aku memulai.
Tapi dia hanya diam, mendadak wajahnya murung, berubah menunjukkan ekspresi kekecewaan yang amat dalam. Ia seperti menahan sesuatu yang ingin diucapkan, seperti ada perasaan berat untuk mengungkapkan apa yang sedang dia rasakan. Kemudian hanya tetesan air mata yang keluar dari pelupuk matanya yang indah, membasahi pipinya yang kemerahan. Air mata itu mewakili perasaan sedih yang menyelimuti batinnya.
Ia memeluk ku, mengharapkan perlindungan atas kesedihannya dariku. Ia mencoba untuk mencari seseorang yang bisa dipercaya untuk ungkapkan rahasianya. Aku pun hanya terdiam, dan coba untuk menenangkan dirinya. Aku tak tau apa yang harus ku lakukan, karena jujur saja aku tak tau apa yang sedang menimpanya hingga dia sampai menderita seperti ini. Aku hanya bertanya tentang keluarganya, tapi malah tangis yang kudapat sebagai jawaban.
Aku mencoba menenangkan dengan mengatakan aku akan selalu di sampingnya. Tapi dia tetap larut dalam kesedihan yang teramat sangat. Akhirnya aku hanya bisa diam, menemaninya menangis untuk beberapa saat. Membiarkan dia untuk memperoleh ketenangan yang dia butuhkan. Mungkin dengan mengis dia akan merasa tenang, dan bisa menceritakan kenapa ia merasa sedih.
Malam pun menjelang, kami masih duduk di sofa ruang tengah kontrakan Maria. Sunyi yang amat janggal menyelimuti keadaan di ruangan itu, sebab tak ada sepatah kata pun terucap dariku atau Maria yang dapat memecah suasana sepi. Hanya terdengar suara isak tangis Maria yang kadang masih sempat keluar. Seakan kesedihan maria tetap berada dalam hatinya dan tak mau hilang.
Aku pun ikut terdiam seribu bahasa, tak berani bicara atau berkomentar tantang kesedihan yang dialami oleh Maria. Aku hanya mencoba untuk mengungkapkan bahwa aku ada bersamanya, apa pun yang akan terjadi kepadanya. Aku mencoba terus memeluknya dengan erat, agar ia tau aku selalu bersamanya. Walau malam yang sepi akan selalu datang saat hari sudah usai, aku tetap akan menemaninya.
“Aku mau jujur sama kamu,” ia mulai bicara, “sebenarnya keluargaku hancur, tak ada yang tersisa dari kenangan sebuah keluarga bahagia. Semuanya sirna karena pertengkaran, aku yang masih anak kecil tak pernah dipedulikan. Mereka tetap bertengkar tanpa henti, bahkan aku hampir dibunuh ketika terus menangis melihat mereka.” Ia menatap ke atas sambil mencoba mengingat kenangan menyakitkan tentang hidupnya. “Aku marah pada mereka, aku benci dengan mereka, bahkan aku tak ingin lagi melihat mereka. Maka dari itu aku mengambil kuliah dan tempat kerja yang jauh, aku ingin jauh dari mereka yang ku benci.” Ekspresinya menunjukkan kebencian yang amat sangat.
Tak pernah ku sangka dibalik senyuman manis yang selalu ditunjukkan kepada dunia terdapat kenangan pahit yang ia sembunyikan. Aku sedikit kaget mendengar hal itu, seolah tak dapat ku percaya sepenuhnya cerita itu. Tak pernah ada sikap dari Maria yang menunjukkan ia berasal dari keluarga brokenhome. Malah keramahan dan kasih sayang yang terus terpancar dari seorang Maria di setiap saat. Di mana pun dan kapan pun ia berada selalu hanya ada kebahagiaan yang tercipta di sana.
Tapi aku tak dapat berkomentar, aku hanya terdiam, tanpa berusaha mengucapkan sepatah kata. Hanya dekap pelukan yang ku berikan untuk menenangkan kesedihannya, seraya membasuh lukanya. Mungkin dengan kasih sayang lukanya akan sembuh dengan seiring berjalannya waktu. Aku akan menyediakan pelukan setiap ia membutuhkan ku untuk menumpahkan seluruh kesedihannya pada dunia.
Sampai larut malam, ku dengarkan cerita hatinya tentang kepahitan masa lalu. Aku pun harus segera pulang agar tak ada omongan tidak baik untuk kami dari tetangga Maria. Ku kecup keningnya, membuatnya merasa nyaman dan meyakinkannya aku selalu bersamanya setiap saat. Aku akan selalu ada bersamanya saat kesedihan menghampirinya. Sebelum aku meninggalkannya, dia mencium pipi ku dengan mesra dan berkat ‘terima kasih’ kepadaku karena sudah mau mendengarkan ceritanya.
Malam berganti pagi, tak ada sesuatu yang aneh ku rasakan dalam pagi yang sunyi di bulan Desember ini. Semua berjalan seperti biasanya, dengan kegiatan dan rutinitas seperti layaknya program komputer. Setiap hari selalu melakukan hal yang sama seperti sudah ada sistem dan semua bersifat otomatis. Mungkin jika salah satu sistem hilang kehidupan yang dijalani oleh setiap orang kan berbeda. Bahkan mungkin mereka akan bunuh diri karena furustasi dengan kehidupan yang dijalani, terus saja berbeda setiap harinya.
Tapi aku sedikit aneh dengan yang terjadi pagi ini, seperti ada yang kurang dalam menyambut pagi ku. Ada sesuatu yang terlupa dalam kebiasaan pagi ku, dan aku pun lupa akan hal itu.. Ku habiskan banyak waktu untuk merenungkan apa yang telah kulupakan hari ini. Tapi tak ku temukan jawaban yang pas dengan yang dikehendaki hati ku.
Akhirnya ku putuskan untuk menghubungi Maria yang mungkin sedang mengerjakan sesuatu di rumah sakit. Atau mungkin dia sedang makan di kantin rumah sakit dengan makan yang ia sukai, seperti biasanya saat istirahat. Aku jadi senyum-senyum sendiri saat mengingat tentang kebiasaan yang sering dia lakukan.
Aku mencari handphon ku, menekan nomornya dan ku menghubung. Tapi sekian lama ku tunggu jawaban dari telfon, aku tak mendapat apa-apa. Ia tak menjawab telfon dariku yang sedang rindu akan suaranya. Ku coba lagi beberapa kali, tapi hasilnya tetap sama tak ada jawaban yang ku inginkan dari panggilan ku. Aku pun mencoba menghubungi tempat kerjanya. Aku menanyakan keberadaan Maria yang sejak tadi tidak bisa ku hubungi. Perawat yang bertugas, bilang dia juga tidak mengetahui prihal keberadaan Maria, sejak tadi Maria tidak terliahat di rumah sakit.
Aku menjadi panik, hati ku mulai khawatir terhadap Maria yang tak kunjung ada kabar pasti. Aku bergegas mengambil jaket dan kunci sepeda motor ku untuk berangkat menuju rumah Maria. Pikiran ku terus tertuju kepada sosok Maria yang semalam menangis di peluk ku, menumpahkan kesedihan nya. Semakin ku pacu kencang motor ku lebih cepat, aku ingin segera memastikan keadaan Maria.
Sesampainya di depan kontrakan Maria, ku ketuk pintu rumah dan memanggil namanya berulang-ulang. Tapi tak pernah ada jawaban yang ku tunggu dari dalam rumah Maria. Ku lihat ke dalam rumah melalui kaca jendela, tapi tak seorang pun nampak dalam pandangan ku. Kekhawatiran ku semakin manjadi-jadi, takut akan ada masalah yang sedang menimpanya. Ku coba memutar gagang pintu, tapi tak bisa ku buka karena terkunci dari dalam. Aku pun memberanikan diri untuk mendobrak pintu masuk, karena tak ada lagi yang bisa ku lakukan untuk memastikan keadaan Maria di dalam.
Dan benar saja kekhawatiran ku terjadi, aku melihat tubuh Maria tergeletak di lantai kamarnya. Aku segera menghamburkan diri ke tubuhnya, ku peluk dengan erat, ku panggil namanya, berharap bisa membangunkan dirinya. Ku teriakan namanya tapi tetap tak ada resopn baik yang ku terima dari tubuh yang sudah mendingin. Akhirnya ku sadari Maria telah pergi, beristirahat dalam kedamaian di sisi Tuhannya. Air mata ku tak terbendung menumpahkan kesedihan di hadapan jasad dari Maria. Dan aku terus meratap tanpa henti menangisi kepergian kekasih tercinta ku.
Saat upacara pemakaman Maria, aku hanya berdiri dengan tatapan kosong seperti orang linglung tak punya tujuan. Aku menatap jasad Maria yang dikuburkan dalam tanah dengan penuh rasa tidak percaya. Sampai ku tak sadar seorang teman kerja Maria menghampiri ku, ia berkat “Kasihan Maria, harus meninggal karena kangker otak yang ia derita”. Aku sedikit terkejut dengan pernyataan itu.
“Dan yang lebih menyakitkan, walau orang tuanya tau tentang hal ini mereka tak pernah peduli dengan Maria.” Ia pun pergi setelah mengucap hal itu, meninggalkan ku di depan makam Maria yang basah oleh hujan di siang itu.
Berhari-hari ku mengurung diri dalam kamar, sampai mama ku khawatir dengan keadaan ku. Aku terus merenungkan tentang semua yang ter jadi kepada kekasihku, Maria. Hal yang paling membingungkan tentang Maria adalah rahasianya yang terlalu banyak dan tak ku ketahui. Tiba-tiba terlintas di benakku tentang suatu hal, hal yang ku lupakan di hari kematian Maria. Aku lupa untuk mengucapkan selamat pagi kepadanya di hari itu, aku lupa untuk mengungkapkan rasa sayang ku kepadanya, seperti yang biasa ku lakukan setiap pagi. Memang aneh aku bisa ingat hal yang sudah tidak ada gunanya lagi saat ini. Tapi ku berfikir ulang tentang ucapan selamat pagi itu, aku akan terus mengucapkannya untuk mengenang tentang Maria. Aku pun akan menyisipkan doa-doa untuknya, agar ia tenang di sisinya, agar ia juga tetap tersenyum manis kepada ku dari tempatnya yang jauh.
SEKIAN
Malang, 22 Oktober 2017
0 Komentar