Sastra, dalam esensinya, adalah sebuah cermin. Ia merefleksikan realitas, membedah jiwa manusia, dan menawarkan perspektif baru. Namun, seiring dengan evolusi media dan pasar, muncul sebuah fenomena yang mengkhawatirkan: karya tulis yang, meskipun laris, tidak mencerminkan esensi sastra itu sendiri. Alih-alih memperkaya pikiran dan emosi pembaca, karya-karya ini justru cenderung menyesatkan, menyajikan narasi yang dangkal, dan mempromosikan nilai-nilai yang merusak. Fenomena ini, yang dapat disebut sebagai "pembusukan otak" dalam konteks sastra, merupakan ancaman terhadap fungsi fundamental sastra sebagai medium pencerahan dan pemikiran kritis.
Narasi sebagai Pabrik Klise
Banyak karya tulis populer saat ini yang gagal dalam orisinalitas. Mereka mengandalkan formula yang sudah usang dan klise yang sering kali diambil dari media lain, seperti film atau video game. Karakter-karakter yang disajikan sering kali bersifat satu dimensi: pahlawan yang sempurna tanpa cacat, penjahat yang jahat tanpa motivasi yang kompleks, dan kisah cinta yang dangkal tanpa konflik emosional yang substansial. Narasi seperti ini tidak menantang pembaca untuk berpikir atau merenung. Sebaliknya, mereka menyajikan sebuah fast food narasi—mudah dicerna, tetapi kosong nutrisi. Pembaca terbiasa dengan pola cerita yang dapat diprediksi, dan kehilangan kemampuan untuk menghargai kompleksitas dan ambiguitas yang merupakan inti dari sastra yang baik.
Erosi Bahasa dan Kekosongan Makna
Sastra adalah seni bahasa. Ia memanfaatkan kekuatan kata-kata untuk menciptakan dunia, membangun suasana, dan menyampaikan ide-ide yang mendalam. Namun, dalam banyak kasus, karya-karya yang dikritik ini cenderung mengikis bahasa. Gaya penulisan yang digunakan sering kali ceroboh, dengan tata bahasa yang buruk dan pilihan kata yang terbatas. Bahasa tidak lagi menjadi alat yang presisi, melainkan sekadar sarana untuk menyampaikan plot yang minimal. Akibatnya, pembaca menjadi terpapar pada bahasa yang miskin, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi kemampuan mereka untuk berpikir secara jernih dan artikulatif. Karya-karya ini tidak merangsang imajinasi atau memperluas kosakata; mereka hanya menyediakan hiburan pasif yang tidak meninggalkan jejak intelektual.
Sastra sebagai Komoditas, Bukan Karya Seni
Masalah mendasar dari fenomena ini adalah komersialisasi sastra. Ketika sebuah karya tulis diproduksi semata-mata untuk memenuhi permintaan pasar atau tren sesaat, ia kehilangan jiwa artistiknya. Sastra tidak lagi berfungsi sebagai ekspresi dari visi pribadi penulis, tetapi sebagai produk yang harus laku. Penulis, dalam tekanan untuk menghasilkan bestseller, mungkin mengorbankan kedalaman karakter, originalitas plot, dan kehalusan bahasa demi daya tarik massal. Ini menciptakan siklus yang berbahaya: pasar menuntut konten yang mudah dikonsumsi, dan penulis menghasilkan konten yang dangkal untuk memenuhi tuntutan tersebut, yang pada akhirnya memperburuk selera pembaca. Sastra seharusnya menantang, bukan memanjakan.
Dengan demikian, karya-karya yang mengarah pada "pembusukan otak" bukan hanya masalah estetika; mereka adalah masalah budaya. Mereka merusak harapan pembaca terhadap sastra dan melemahkan peran sastra sebagai kekuatan untuk perubahan dan pemahaman. Sudah saatnya kita kembali menuntut sastra yang berani, yang menantang, dan yang menghargai kecerdasan pembaca. Sastra yang baik seharusnya meninggalkan bekas, bukan hanya melintas seperti angin.
0 Komentar