Novel yang Menghibur, Sastra yang Menghilang: Sebuah Kritik terhadap Fantasi Berlebihan

 


Lanskap sastra kontemporer, terutama di platform daring, dibanjiri oleh genre-genre yang semakin ekstrem dan aneh—novel tentang psikopat yang romantis, mafia yang penuh kekejaman, atau cerita-cerita yang melibatkan kekerasan dan dark romance. Genre-genre ini menemukan audiens yang besar, namun dari kacamata kritik sastra, fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendalam: apakah ini masih bisa disebut sastra? Atau, apakah ini adalah bentuk hiburan yang mengorbankan kedalaman naratif, karakterisasi yang kompleks, dan relevansi sosial demi sensasi belaka?

Fantasi Berlebihan dan Ketiadaan Realitas

Genre-genre novel ekstrem ini seringkali menyajikan dunia yang terputus dari realitas. Karakter-karakter psikopat, misalnya, digambarkan sebagai sosok yang menawan, misterius, dan dicintai, yang justru menihilkan realitas psikologis dari kondisi tersebut. Kekejaman dan kekerasan, yang seharusnya menjadi sumber horor, justru diromantisasi dan dijadikan elemen yang menarik. Alih-alih mengeksplorasi trauma, penderitaan, atau konsekuensi moral dari tindakan ekstrem, novel-novel ini cenderung menggunakan kekerasan sebagai sebuah alat naratif yang dangkal untuk menggerakkan plot atau menciptakan ketegangan yang murahan.

Kritik utama di sini adalah bahwa novel-novel ini gagal untuk memberikan cermin bagi realitas. Sastra yang baik, dalam esensinya, mengajak pembaca untuk merenungkan kondisi manusia. Namun, genre-genre aneh ini justru mendorong pembaca untuk melarikan diri ke dalam fantasi yang tidak masuk akal, di mana norma moral dan hukum fisika tidak lagi berlaku. Dengan demikian, novel-novel ini lebih berfungsi sebagai pelarian yang meninabobokan daripada sebagai refleksi yang mencerahkan.

Karakter yang Dangkal dan Plot yang Bertele-tele

Karena fokusnya pada sensasi, genre-genre ini seringkali mengorbankan karakterisasi yang kompleks. Tokoh-tokohnya cenderung datar, hanya berfungsi sebagai arketipe—psikopat yang dingin, gadis yang naif, atau mafia yang kejam. Tidak ada evolusi karakter yang berarti, tidak ada perjuangan batin yang mendalam, karena semua tindakan mereka didikte oleh premis genre yang ekstrem. Akibatnya, hubungan antara karakter terasa dangkal dan tidak meyakinkan, seringkali hanya berpusat pada obsesi atau kekuasaan, bukan pada ikatan emosional yang tulus.

Selain itu, plot seringkali bertele-tele dan tidak efisien. Untuk mempertahankan ketegangan, cerita dipenuhi dengan alur-alur yang tidak perlu, konflik-konflik yang dibuat-buat, dan dialog-dialog yang repetitif. Penulis seringkali mengandalkan cliffhanger yang dipaksakan untuk mempertahankan minat pembaca, yang pada akhirnya membuat narasi terasa berlebihan dan tanpa tujuan. Tujuan dari cerita seolah-olah hanya untuk terus berjalan, bukan untuk mencapai sebuah pemahaman atau resolusi yang berarti.

Sastra sebagai Makanan Cepat Saji

Dalam konteks yang lebih luas, tren ini dapat dilihat sebagai sastra "makanan cepat saji" (fast-food literature). Novel-novel ini dirancang untuk konsumsi yang cepat, memberikan sensasi instan tanpa menuntut refleksi atau pemikiran mendalam. Ia mirip dengan film-film blockbuster Hollywood yang penuh dengan ledakan dan aksi, tetapi tanpa jiwa. Meskipun tidak ada yang salah dengan hiburan semacam ini, ia tidak dapat menggantikan peran sastra yang lebih tinggi—yaitu, untuk memperkaya jiwa, menantang pandangan kita tentang dunia, dan mengajak kita untuk berempati dengan pengalaman orang lain.

Pada akhirnya, kritik ini bukanlah tentang melarang genre-genre tertentu. Sebaliknya, ini adalah sebuah panggilan untuk refleksi: apakah kita, sebagai penulis dan pembaca, harus puas dengan novel-novel yang hanya menyajikan fantasi berlebihan dan sensasi dangkal? Sastra memiliki potensi yang jauh lebih besar untuk menjadi sebuah kekuatan yang transformatif, dan akan sangat disayangkan jika potensi itu dikorbankan demi tren yang sekilas menarik, namun pada akhirnya meninggalkan kita dengan kekosongan.

Posting Komentar

0 Komentar