Dalam era digital yang serba cepat, cara penulis menyalurkan pemikiran mereka di atas kertas—baik secara harfiah maupun metaforis—telah mengalami transformasi radikal. Jika di masa lalu tulisan adalah hasil dari kontemplasi yang panjang dan terisolasi, kini ia menjadi produk dari keterhubungan yang tak terhindarkan, dipengaruhi oleh platform, audiens, dan kecepatan informasi. Kritik sastra perlu menyoroti bagaimana pergeseran ini membentuk, dan dalam banyak kasus, mendegradasi proses kreatif menjadi sebuah aktivitas yang reaktif, bukan reflektif.
Kertas yang Menggantikan Kertas: Pengaruh Platform
Perpindahan dari kertas fisik ke layar digital telah mengubah dinamika antara penulis dan karyanya. Penulis masa kini tidak lagi menulis untuk disimpan dalam laci atau diterbitkan dalam buku yang sakral, melainkan untuk segera disajikan di hadapan audiens daring. Fenomena ini menciptakan tekanan untuk berproduksi secara konstan dan menghibur secara instan. Tulisan tidak lagi dilihat sebagai sebuah monumen pemikiran yang utuh, melainkan sebagai konten yang harus terus diperbarui agar tetap relevan.
Akibatnya, pemikiran yang disalurkan seringkali menjadi dangkal dan terfragmentasi. Alih-alih merangkai sebuah argumen yang panjang dan bernuansa, penulis cenderung memecah-mecah ide menjadi potongan-potongan kecil yang mudah dikonsumsi, seperti cuitan, status, atau paragraf-paragraf pendek yang dikemas agar menarik. Proses ini mengorbankan kedalaman demi kecepatan, dan analisis kritis digantikan oleh reaksi spontan. Kertas, yang dulunya adalah ruang untuk pemikiran yang terorganisir, kini menjadi sebuah layar yang menampilkan aliran kesadaran yang terburu-buru.
Pemikiran yang Berpihak pada Algoritma
Pengaruh yang lebih halus, namun lebih berbahaya, datang dari logika algoritma. Platform digital memberi penghargaan pada tulisan yang viral, yang menghasilkan banyak interaksi, dan yang memancing emosi kuat—baik itu persetujuan atau kemarahan. Akibatnya, pemikiran yang disalurkan seringkali menjadi polarisasi dan ekstrem. Penulis mungkin secara tidak sadar terdorong untuk menyederhanakan isu-isu kompleks menjadi dikotomi hitam-putih, atau menggunakan narasi yang memancing amarah, hanya karena format semacam itu lebih mungkin untuk dibagikan dan mendapatkan perhatian.
Dalam konteks ini, kertas (atau layar) tidak lagi menjadi tempat untuk mengeksplorasi nuansa, melainkan menjadi arena pertarungan ideologis. Penulis tidak lagi menulis untuk menemukan kebenaran, melainkan untuk memenangkan debat. Pemikiran yang lahir dari proses ini cenderung tidak orisinal, karena ia berulang kali mengemas ulang gagasan-gagasan yang telah teruji secara algoritma.
Solusi: Kembali ke Kontemplasi yang Mendalam
Kritik ini bukan berarti menolak teknologi atau platform digital. Sebaliknya, ini adalah sebuah seruan bagi penulis masa kini untuk merebut kembali otonomi kreatif mereka. Sastra yang bermakna lahir dari kontemplasi yang mendalam, dari kesediaan untuk berdiam diri dan membiarkan pemikiran tumbuh secara organik. Penulis perlu menemukan kembali keseimbangan antara kecepatan dan kedalaman, antara keterhubungan dan refleksi pribadi.
Kembali ke "kertas" dalam arti metaforis, penulis perlu menciptakan ruang di mana mereka dapat menyalurkan pemikiran tanpa tekanan untuk memuaskan algoritma atau audiens yang gelisah. Ini adalah satu-satunya cara bagi tulisan untuk kembali menjadi sebuah cerminan jiwa yang tulus, bukan sekadar sebuah produk yang dirancang untuk dikonsumsi dan dilupakan.
0 Komentar