Fragmentasi Perhatian dan Erosi Apresiasi Mendalam

 


Tantangan terbesar yang dihadapi sastra modern datang dari fragmentasi perhatian. Di era media sosial, di mana setiap detik diisi oleh cuitan, video pendek, dan feed yang terus bergulir, kemampuan untuk membaca dalam durasi panjang telah terkikis. Sastra, pada dasarnya, adalah sebuah medium yang menuntut komitmen. Sebuah novel, misalnya, meminta pembaca untuk melepaskan diri dari hiruk pikuk, membenamkan diri dalam dunia karakter, dan mengikuti alur yang rumit. Namun, mentalitas "klik-dan-lanjut" yang dibentuk oleh platform digital membuat proses ini terasa membosankan dan melelahkan.

Akibatnya, yang berkembang bukanlah sastra yang mendalam, melainkan sastra konsumsi cepat. Puisi-puisi pendek yang instan, cerita-cerita yang berfokus pada sensasi (seperti genre yang Anda sebutkan sebelumnya), dan ringkasan buku menjadi pilihan favorit. Teks-teks ini dirancang untuk memberikan kepuasan instan, mengorbankan kompleksitas karakter, keindahan bahasa, dan kekayaan tema. Sastra tidak lagi dinikmati sebagai sebuah proses, tetapi sebagai sebuah produk yang disajikan dalam kemasan yang menarik dan mudah dicerna.

Penulis sebagai Produk dan Hilangnya Otonomi Kreatif

Penurunan vitalitas sastra juga tercermin dalam perubahan peran penulis itu sendiri. Di masa lalu, penulis adalah seorang intelektual, pengamat masyarakat, atau penyair yang terisolasi. Kini, banyak penulis masa kini harus menjadi "brand" mereka sendiri, aktif di media sosial untuk membangun audiens dan mempromosikan karya. Tekanan untuk tetap relevan dan terhubung membuat proses kreatif menjadi sebuah aktivitas yang reaktif terhadap tren dan algoritma.

Alih-alih menyalurkan pemikiran orisinal, penulis mungkin tanpa sadar menjadi produsen konten yang disesuaikan dengan permintaan pasar. Hal ini berpotensi merusak otonomi kreatif. Sastra yang lahir dari kondisi ini cenderung berulang dan formulaik, karena ia diciptakan untuk memenuhi ekspektasi, bukan untuk mengeksplorasi kebenaran yang sulit atau mengusik konvensi yang sudah mapan.

Sastra sebagai Jalan Pulang

Meskipun kritik ini mungkin terdengar pesimistis, ia bukanlah sebuah deklarasi kematian sastra. Sebaliknya, ia adalah pengingat bahwa sastra yang sejati, yang memiliki vitalitas dan kekuatan, tetaplah diperlukan. Di tengah dunia yang serba bising, sastra dapat menjadi jalan pulang menuju perenungan, empati, dan pemahaman yang lebih dalam tentang diri sendiri dan orang lain. Tantangan bagi penulis dan pembaca di masa kini adalah untuk menolak daya tarik sensasi yang dangkal, dan dengan berani merebut kembali ruang untuk keindahan, kompleksitas, dan kebenaran yang hanya bisa diungkapkan melalui kata-kata yang hati-hati dan penuh makna.

Posting Komentar

0 Komentar