Novel modern, dalam upaya menangkap kompleksitas zaman, seringkali terjerembap dalam jebakan yang membuatnya terasa membosankan. Ironisnya, di tengah hiruk pikuk inovasi dan kebebasan berekspresi, banyak karya kontemporer justru kehilangan kilau yang membuat pembaca tenggelam, digantikan oleh repetisi, pretensi, atau sekadar kehampaan. Ini adalah kritik terhadap arah tertentu dalam novel modern yang, alih-alih merayakan kemajuan sastra, justru memicu kelelahan pada pembaca.
Salah satu penyebab utama kebosanan ini adalah monotoninya narasi dan tema. Dalam upaya mengejar tren pasar atau algoritma platform, banyak penulis modern terjebak dalam formula yang aman dan berulang. Genre-genre tertentu dieksploitasi habis-habisan hingga ke inti, menghasilkan ribuan novel dengan premis yang nyaris identik, karakter template, dan konflik yang bisa ditebak dari halaman pertama. Alih-alih kejutan, pembaca disuguhi familiaritas yang berlebihan, memadamkan api rasa ingin tahu dan petualangan yang seharusnya menjadi inti membaca novel. Kisah cinta yang selalu berakhir bahagia dengan formula yang sama, atau petualangan fantasi dengan arketipe pahlawan yang itu-itu saja, pada akhirnya hanya akan melahirkan pengalaman membaca yang datar.
Pretensi dan Kehilangan Sentuhan Manusiawi
Kebosanan juga muncul dari pretensi intelektual dan gaya yang berlebihan. Beberapa novel modern, dalam upaya tampil "cerdas" atau "artistik," justru mengorbankan kejernihan dan koneksi emosional. Penulis mungkin terlalu asyik dengan eksperimentasi bentuk yang berlebihan, penggunaan metafora yang terlalu gelap, atau filosofi abstrak yang disajikan tanpa pijakan yang kuat pada pengalaman manusia. Akibatnya, karya tersebut terasa jauh, dingin, dan tidak relevan bagi pembaca. Alih-alih merasa diundang untuk berpikir, pembaca justru merasa digurui atau bahkan bodoh karena tidak dapat memahami apa yang sebenarnya ingin disampaikan. Seni yang baik seharusnya menginspirasi, bukan mengintimidasi.
Selain itu, novel modern kerap kali menderita karena kehilangan sentuhan manusiawi yang mendalam. Dalam beberapa kasus, fokus terlalu banyak pada plot yang cepat atau twist yang mengejutkan, mengorbankan pengembangan karakter yang realistis dan relasi yang otentik. Tokoh-tokoh terasa datar, motivasi mereka dangkal, dan dilema mereka tidak beresonansi dengan pembaca. Tanpa karakter yang dapat dihubungi atau dipahami secara emosional, kisah, betapapun spektakuler plotnya, akan terasa hampa. Pembaca tidak dapat berinvestasi secara emosional, sehingga petualangan karakter menjadi tidak relevan, dan akhirnya, membosankan.
Tuntutan Produksi dan Kehampaan Konten
Tidak bisa dimungkiri, tuntutan dari platform penerbitan online juga turut memperparah masalah ini. Keharusan untuk memproduksi konten setiap hari demi mempertahankan engagement atau memenuhi kontrak, mengubah proses kreatif menjadi lini perakitan. Penulis tidak memiliki waktu untuk merenung, merevisi, atau mematangkan ide. Hasilnya adalah karya-karya yang tergesa-gesa, penuh plot hole, dan kering. Setiap bab terasa seperti penguluran tanpa tujuan, hanya untuk memenuhi kuota. Ini bukan lagi seni yang membutuhkan kesabaran dan keahlian, melainkan produksi massal yang mengutamakan kuantitas daripada kualitas.
Pada akhirnya, kebosanan dalam novel modern adalah cermin dari berbagai faktor: homogenisasi pasar, pretensi gaya, kehilangan kedalaman karakter, dan tekanan produksi. Sastra yang baik seharusnya menjadi jendela ke dunia lain, atau cermin yang memantulkan diri kita sendiri. Namun, ketika jendela itu kotor atau cermin itu retak, pengalaman membacanya hanya akan menyisakan kekosongan. Sudah saatnya penulis kembali pada inti dari bercerita: menciptakan narasi yang jujur, karakter yang bernyawa, dan ide yang berani, agar novel modern dapat kembali menjadi sumber pencerahan dan kegembiraan, bukan lagi sekadar pajangan yang membosankan.
0 Komentar