Hari berganti, seiring dengan takdir yang telah ku jalani. Aku memilih untuk lari, memilih meninggalkan masalah yang harusnya ku hadapi. Mungkin ini tindakan pengecut, dan aku memang si pengecut itu, terserah kalian mau mengatakan apa. Tapi yang jelas, aku telah kalah dalam perang ini.
Apa bisa disebut perang?, mungkinkah ini perang, kalau kenyataannya hanya aku yang bertarung sendirian. Walau aku merasa ada yang mendukung ku di belakang, tapi aku lebih merasa kalau ini pertempuran ku sendiri. Sebenarnya aku merasa jika ada yang mengikutiku, tapi aku lebih merasa kalau ini adalah pertempuran ku sendiri. Perangku dangan takdir ku sendiri, yang selalu saja membuat ku kalah dan kalah lagi.
Kekalahan ku adalah, saat aku melihat orang yang ku damba menjadi milik orang lain. Saat aku tengah sibuk mempersiapkan semuanya, takdir membawaku pada kenyataan untuk melepaskan. Aku memilih lari meninggalkan semuanya, agar batinku tenang, agar aku tak merasa lebih terluka. Aku berlari seperti yang sudah-sudah, berpaling dari takdir yang selalu membuat ku kecewa, dan kembali pada pengasingan diriku yang hampa.
“Kalau kau masih memikirkan dia, artinya kau masih belum sepenuhnya mengikhlaskan.” Tirta, teman yang tau semua masalah ku beberapa saat lalu mengatakan seperti itu.
Memang kenyataannya aku belum ikhlas, aku masih tak terima dengan takdir yang telah digariskan. Masih banyak yang ingin ku lakukan untuk membuktikan diriku layak mendapatkannya. Meski logika selalu menyangkal, mulut berucap melepaskan, tapi hati kecil ku tak pernah berbohong bahwa aku masih mengharapkannya. Rasa yang ku rasakan masih saja hadir dalam lamunan di malam-malam sunyi.
Benar, malam yang sunyi adalah tempat biasa ku lari melabuhkan semua hal tentangnya. Malam yang sunyi adalah tempat ku merencanakan semuanya, tempatku membuat catatan-catatan kehidupan. Sekarang pun demikian, malam yang sunyi menjadi tempat ku rencanakan pelarian terbesar ku dari kenyataan. Di ujung malam sunyi ini pula sering ku buat catatan kecil untuk mengingatkan ku akan luka.
Oh Tuhan, kenapa takdir begitu kejam menimpa orang lemah seperti ku? Kenapa harus ada lagi kecewa setelah beribu-ribu kekecewaan yang hadir dalam hidupku? Kenapa sekali lagi aku harus mati, setelah bunga itu Engkau ijinkan bersemi? Bukankah aku telah bersiap menghadapi kemungkinan yang akan terjadi? Tapi kecewa itu tetap datang kembali.
Tuhanku yang baik, sekarang bagaimana ku tumbangkan rasa yang telah bersemi ini? Apa sekali lagi harus ku hancurkan yang telah terangkai rapi? Haruskah ku bunuh hatiku sekali lagi, untuk menenangkannya kembali? Tuhan, sekali lagi aku harus memilih hal yang sulit. Setelah ku biarkan rasa ini tumbuh, aku pun harus membuatnya kembali mati.
Tak adil rasanya, jika harus membunuh rasa yang ku tanam sendiri. Semua yang telah ku alami membuat ku yakin diriku tak pantas membunuh rasa ini lagi. Meski harus ku terima bahwa dia bukan untukku, tapi aku pun tak bisa menghilangkan rasa ini. Mungkin aku yang bersalah, membiarkan rasa yang tak seharusnya tumbuh sedemikian rupa.
Bodohnya aku terlalu percaya pada harapan semu, aku terlalu percaya pada ketidak pastian itu sendiri. Lalu ini lah yang harus ku terima, kembali merasakan luka atas kekecewaan itu sendiri. Jika hati ini terus dilanda kecewa, mungkin perlahan ia akan mati serta tak memiliki perasaan lagi. Hidup dengan hati yang mati akan terasa menyiksa diriku sendiri, dan hal semacam itu tak pernah ku inginkan dalam hidup ini.
Aku takut lama-lama hatiku jadi mati rasa, aku takut jika hal itu menjadi nyata. Sebab kawanku Damar pernah berkata, “Tak ada yang lebih menakutkan dari hati yang telah mati. Semua masih bisa hidup dengan harapan, kecuali hati yang mati.” Hal itu sungguh membuat ku ketakutan hingga saat ini.
Meski aku tak sepenuhnya percaya dengan ucapan Damar. Ia berkata bahwa harapan yang menghidupkan segalanya, sedang hatiku mati karena sebuah harap itu sendiri. Ya, hatiku mati karena berharap, bukan karena kekecewaan saja, tapi juga karena harapan yang ku pahat. Seperti itulah sekarang ku hadapi kenyataan, sebuah kenyataan yang terus saja menggerus jiwaku sampai habis.
Aku sempat berfikir, bolehkah aku mengharap musibah bagi orang lain?, sebagai orang egois yang menginginkan harapannya terwujud. Bolehkah aku meminta keburukan bagi orang lain?, bolehkah? Mungkin dengan begitu kesempatan untukku akan terbuka, mungkin aku akan dapatkan dia yang ku inginkan, mungkin, mungkin. Mungkin yang akan jadi kemungkinan sampai habis waktu.
Tapi berharap demikian, apa bisa dikatakan sebuah kebenaran?, berdoa dengan maksud mengharap kedukaan bagi orang lain, bisa dikatakan baik? Ah semua pemikiran itu menghujam otak ku, aku tersiksa oleh prasangka ku sendiri. Hati dan pikiran ku kembali berseteru, peprangan kembali menyelubungi diriku sendiri.
Firman berkata “Relakan!, Maya bukan takdirmu. Jangan siksa dirimu dengan menahan perasaan itu lebih lama lagi.” Tapi jujur, aku masih tak bisa merelakan, terlalu sulit untukku menerima kenyataan. Maya terlalu indah, ia sangat berbeda, tak ada perempuan lain yang sepertinya. Aku harus melepasnya?, merelakannya bersama orang lain?, sepertinya aku tak sanggup.
Bima pun sempat berkata, “Masih banyak perempuan lain, maya bukan satu-satunya yang ada dalam dunia mu.” Ya memang benar, tapi Maya lebih dari perempuan-perempuan itu, kalian yang tak bisa melihatnya saja yang bisa berkata seperti itu. Kalian yang tak bisa melihat kenaggunan di wajah Maya, akan berkata ia sama dengan perempuan lain. Maya adalah sosok berbeda, dan aku telah kehilangan itu dari dunia ku.
Kalian bisa bilang jika semua perempuan itu sama, tapi bagiku tidak, setiap perempuan memiliki aura yang berbeda. Setiap perempuan memiliki keanggunan serta cara yang berbeda untuk menunjukannya. Kalian tak akan pernah tau bagaimana Maya di mataku, kalian tak kan pernah tau apa yang baru saja lepas dari tanganku. Bukan karena parasnya yang ayu aku jatuh hati, bukan pula karena hartanya yang membuat ku ingin bersama Maya. Ada hal yang lebih indah dari harta dan rupa, dan sebab itu aku ingin bersanding dengan Maya.
Semua orang tak akan mengerti apa yang baru terlewat begitu saja dalam hidupku. Maya dan keanggunan yang ia miliki barus saja lepas dari tangan kecil ku, bagaimana aku tak bersedih dengan hal itu. Aku tak tau, apakah aku bisa dapat cahaya itu lagi dari perempuan lain?, mungkin saja cahaya itu hanya milik seorang Maya. Aku bersedih akan hal itu, bukan besedih akan hilangnya Maya, tapi karena cahaya illahiah Maya telah lenyap dari pandanganku.
“Ikhlaskan!” Yudis coba menguatkan ku dengan kata ikhlas. Ia tak tau saja apa yang baru terlepas dari tanganku. Coba saja ia bisa melihat apa yang ku lihat dalam diri Maya, pasti ia juga mengejarnya. Semua orang bisa berkata bijak pada kehidupan orang lain, tapi ketika permasalahan dalam hidupnya datang, semua kata-kata bijak itu hilang seketika. Semua orang bisa menganggap permasalahan orang lain itu mudah, sedang permasalahan hidupanya sendiri lah yang paling berat. Kenapa demikian?, semua orang punya titik lemah yang membuatnya jatuh dalam jurang keputusasaan paling dalam.
Mengikhlaskan, kata itu sangat sulit untuk ku lakukan sendirian. Kata ikhlas masih terlalu rumit untuk ku artikan dalam kehidupanku. Tentang Maya, sulit sekali hatiku mengikhlaskannya secepat itu. Yang ku lakukan saat ini, hanya mencoba lari dari bayangan Maya yang selalu hadir tanpa diundang. Dengan segala bentuk bayangannya, aku semakin sulit mengikhlaskan Maya, yang telah bertakhta dalam hatiku.
Sebelumnya aku telah coba mengubur rasa ini, bahkan sebelum sempat rasa ini semakin tumbuh. Aku telah coba berbagai cara untuk membabat habis rasa ini, agar ia tak tumbuh lebih besar lagi. Tapi akhirnya pertahanan ku goyah, rasa cinta ini pun tumbuh juga, tak terbendung, hingga aku tak kuasa menahannya.
Sudah ku coba untuk memangkasnya, menahan agar rasa ini tak tumbuh subur, tapi percuma, usaha ku sia-sia. Terlalu besar rasa ini hingga ia bisa hidup serta bersarang dalam dada. Berbagai cara telah ku coba, termasuk mengalihkan pandanganku dari Maya, tapi rasa itu terus tumbuh tanpa pamit. Tapi saat aku menguatkan hati untuk memilih, malah kekecewaan yang ku dapat dari harap semu yang ku rangkai sendiri.
Bisakah ku ulang semua yang pernah terjadi, agar aku bisa mencoba lebih menguatkan hati untuk melepaskan rasa ini? Kenapa harus terjadi penyesalan?, setelah ku meyakiankan hati untuk Maya, namun aku harus terluka kembali. Terlalu tragis, terlalu menyayat hati, setelah hatiku merasa yakin, aku harus kembali mengubur rasa ini.
***
“Ren udahlah, sampai kapan mau mengurung diri di kamar seperti ini?” suara Bagas menyadarkan lamunan ku. Bagas menerobos masuk ke kamar ku yang sunyi, tanpa permisi. Memang itulah Bagas, selalu datang tanpa permisi serta merusak suasana kamar ku yang sunyi. Dia berdiri di ambang pintu, memandangi ku dengan tatapan kasihan, yang terpuruk di atas kasur.
“Aku harus apa?, melupakan Maya itu sulit Gas” tanpa melihat Bagas, aku menjawabnya.
“Apa yang membuatmu kesulitan?” Bagas coba mendengarkan keluh ku.
“Aku melihat keanggunan pada Maya, yang tak pernah ku temukan pada perempuan lain.”
“Kenapa kau begitu mencintai fisik yang rapuh?, kenapa kau begitu mencintai wajah yang akan berubah diterpa usia itu?” tanya Bagas sinis. “Semua perempuan itu sama, tak ada bedanya semua kecantikan akan lapuk dimakan usia, tak ubahnya dunia yang sudah tua, akan kehilangan karismanya” imbuh Bagas.
“Kau tak tau saja apa yang baru terlepas dari ku, kuntum bunga telah lepas dari tanganku” aku mendebat.
“Apa yang ku tak tau tentang kuntum bunga itu, kau saja yang terlalu serius menanggapi cahaya itu” protesnya.
“Gas, aku melihatnya, aku benar-benar melihatnya. Maya yang bermandikan cahaya indah itu, aku melihatnya. Karena itu pula aku tak bisa mengikhlaskan Maya dimiliki orang lain” aku berbalik ke arah Bagas, mencoba menguatkan pendapatku.
“Sekarang ku tanya, jika cahaya itu tak kau lihat dalam diri Maya, misalkan cahaya itu ada pada diri orang lain, apa kau juga akan seperti ini?” Bagas mencecar ku dengan pertanyaan sulit. “Bila saja cahaya itu ada dalam diri Riri atau Vitha, apa kau juga tak akan merelakan nya dimiliki orang lain?”
Aku terdiam, aku tak bisa menjawab pertanyaan Bagas kali ini, pertanyaan itu terus terngiyang dalam kepalaku. Apa aku yang terlalu memaksa untuk bersanding dengan Maya?, atau aku yang tak bisa mengikhlaskannya? Otak ku berbutar tigaratus enam puluh derajat, anggapan ku berubah seketika. Mungkinkah semua tak sama?, mungkinkah aku hanya menginginkan Maya dengan atau tanpa cahayanya?
Jika demikian, aku telah salah mengartikan, aku lah yang terlalu menginginkan. Mungkin aku yang terlalu jatuh hati pada Maya, aku yang terlalu memendam rasa hingga tak mampu mengikhlaskan. Mungkinkah ini hanya anggapan ku, atau memang aku yang terlalu. Mungkin aku yang tak bisa mengikhlaskannya bersama orang lain, mungkin aku yang terlalu egois, aku yang terlalu memandang serius semua ini.
“dan sekarang, kau terbaring di sini, sendiri. Sedangkan dia merayakan kebahagiaannya” lanjut Bagas.
“Hatiku terlalu hancur Gas, terlalu lemah untuk menerima semuanya” jawaban paling jujur selama ini.
“Lalu setelah hancur, akan kau apakan kepingan-kepingan itu?” tanya Bagas.
“Entahlah, aku masih belum memikirkannya.”
“Bagaimana jika kau buat kepingan-kepingan itu sebagai penyemangat hidupmu? Mungkin Tuhan ingin kau fokus pada kehidupan mu sendiri, tanpa perempuan, tanpa cinta” usul Bagas tentang kepingan-kepingan hatiku .
“Aku malah merasa, Allah sedang bermain-main dengan keseriusan ku.”
“Maksudmu??” Bagas sedikit heran dengan jawabanku.
“Aku merasa keseriusan ini dipermainkan oleh-Nya, aku yang sudah mencoba lebih serius dengan hidupku malah dipermainkan dengan harapan dan kekecewaan. Maka sekalian saja ku buat permainan kehidupan ku ini, mungkin dengan mempermainkan hidupku sendiri, aku tak merasa dipermainkan lagi oleh takdir-Nya.” Pungkas ku.
“Kau kehabisan lawan untuk diajak bermain ya?, sampai memilih takdir-Nya untuk kau jadikan lawan” Bagas terkekeh. “Tapi terserah lah, apa pun yang akan kau lakukan, selama menurut hati kecil mu baik, lakukanlah! Kau pun telah mengerti warna hitam dan putih, aku hanya bisa memberi nasehat yang kau butuhkan” ujar Bagas.
“Mungkin benar katamu, aku sudah kehabisan lawan untuk diajak bermain, hingga aku memilih takdir sebagai lawanku bermain. Mungkin aku yang terlalu putus asa, sebab aku tak tau harus melawan siapa lagi. Mungkin aku yang keras kepala, menjadikan takdir sebagai lawan hanya sebatas pengalihan untuk menutup luka.”
“Jalan pikiranmu terlalu aneh Ren, membuat orang lain kebingungan menafsirkannya” tutur Bagas.
“Bagaspati kawanku, aku hanya berjalan sesuai dengan takdir ku. Mungkin jalan pikiranku yang aneh, adalah salah satu garis takdir bagiku, dan aku menikmati itu.”
“Narendara sahabatku, jika kau tau itu jalan takdir mu, dan kau juga menyadari tak bisa menentangnya, kenapa kau memilihnya untuk menjadi lawanmu?” tanggap Bagas.
“Sebab jika aku memang harus kalah darinya, setidaknya aku tau, aku memang benar-benar kalah dari hal yang tak mungkin ku lawan.” Aku tertawa di akhir penjelasan ku.
“Bodohnya kau,” Bagas ikut tertawa, “dan kenapa aku harus memiliki kawan segila dirimu?” Bagas masih terheran-heran.
“Mungkin itulah salah satu garis takdir yang harus kau jalani. Tapi terima kasih, kau masih mau menemani ku di sini” ucap ku tulus.
***
“Tukk!!” suara notif pesan whatsapp handphon ku berbunyi di tengah obrolan kami.
“Siapa Ren??” tanya Bagas penasaran.
“Maya” ucapku lirih namun pasti “ia ingin bertemu denganku untuk terakhir kali, besok.”
“Dan kau akan datang?” pertanyaan itu hanya ku jawab dengan anggukan kecil. “Astaga!!, ku pikir kau telah sembuh barusan. Ternyata masih saja kegilaan itu hinggap dalam hatimu.”
“Salah sendiri kau mau berteman dengan orang gila ini.” jawabku remeh.
“Itu adalah garis takdir yang tak bisa ku hindari” balas Bagas meniru ucapan ku.
“Tapi tenaglah, aku telah mengikhlaskannya, sebab apa yang akan terjadi adalah garis takdir yang harus ku jalani” ucapku menenangkan Bagas.
“Baiklah, kuatkan hatimu kali ini. Aku pamit” Bagas pun pergi, mengakhiri pertemuan kami, dan meninggalkan kamar ku yang sunyi.
***
Dia datang, dengan cahaya cemerlang seperti biasanya, Maya, ia telah datang hari ini. Dialah Maya, gadis manis yang selalu ku rindukan kehadirannya. Tapi apalah daya, perempuan yang dirindukan oleh hatiku, tak boleh ku sentuh. Maya yang telah menjadi ratu dalam hatiku, telah menjadi ratu bagi orang lain.
Aku musti sadar, perempuan yang kini datang menghampiriku duduk, adalah milik orang lain. Tak berhak bagiku menatapnya, terlebih lagi menggenggam tangannya. Aku harus sadar, kuntum bunga itu telah benar-benar lepas dari tanganku. Tanganku telah kehilangan kuntum bunga paling indah.
Mungkin terasa aneh, tiba-tiba seperti ada yang hilang dari genggam tangan ini, kini aku harus bertemu dengannya yang dulu hilang. Kadang angin yang menerpa telapak tangan, seperti membentuk kelopak bunga di tanganku. tapi itu hanya angin, dan tak akan pernah menjadi bunga itu. Dialah Maya, sekuntum bunga maya yang menjadi khayalan di mataku.
“Hai Ren, apa kabar?” Maya mengambil tempat duduk di depanku. Ia duduk bersamaku di cafe tempat yang telah kita sepakati untuk bertemu.
“Baik, selalu dalam keadaan baik” aku menyembunyikan kebenaran yang ku rasa.
“Ren...” Maya memulai dengan nada serius, sepertinya ada hal penting yang ingin dia sampaikan. Tapi mungkin...., ah tak ada kemungkinan yang pasti!
“Kenapa May?”
“Aku pengen ngomong sesuatu sama kamu” ucap Maya.
“Silakan, aku dengan senang hati mendengarkan” ku tutup ucap terakhir ku dengan senyum termanis untuk Maya. Meski dalam hati terlintas sedih, aku harus tampilkan senyum paling manis pada Maya. Aku tak ingin menunjukkan wajah sedih padanya, tak akan pernah. Bukan ingin menyembunyikan perasaan ku padanya, tapi aku tak ingin ia kecewa melihat duka yang ku tampakkan.
“Ren, aku minta maaf, baru kali ini aku bisa menemui mu. Bukan karena ku tak ingin, tapi aku tak sanggup menatap wajah mu.” Aku terus menyimak semua yang diucapkan Maya, tanpa menjawab, tanpa membantah. Aku hanya ingin menjadi pendengar yang baik kali ini, seperti yang Maya inginkan.
“Sebenarnya, aku sadar akan perasaanmu terhadap ku. Dari perhatianmu, dari caramu memandang ku, aku sadar, ada rasa yang tersimpan dalam hatimu untukku.” Maya melanjutkan kalimat panjangnya, sementara aku tetap menjadi pendengar yang baik untuknya.
“Tapi, semua perhatian yang kamu berikan, tak cukup meyakinkan ku untuk memilih mu.” Kalimat itu membuat ku sedikit tersentak, kalimat terakhir Maya yang membuat pertahanan ku goyah. Tapi aku tetap diam, mencoba menjadi pendengar paling baik yang pernah ada.
“Aku lebih memilih dia yang berani menyatakan perasaannya langsung kepadaku. Dan dialah yang mampu melakukannya, bukan kamu.” kalimat itu menghancurkan pertahanan terakhir batinku.
“Ren, bukan aku tak menghargai perasaanmu, bukan pula aku tak tau apa yang kau rasakan. Tapi aku tak bisa menolaknya, dia adalah jodohku, dan aku tak mungkin menghindarinya” lanjut Maya.
“Meski aku tau benar, dirimu terluka. Meski keputusanku membuat mu kecewa, aku hanya menjalani garis takdir ku. Jika saja aku bisa membuat mu tak terluka dengan kenyataan ini, akan ku lakukan, namun aku bisa apa, setiap daun yang gugur sudah tergariskan di atas sana.”
Aku masih tetap mendengarkan, seraya berfikir tentang ucapan Maya mengenai takdir dan semacamnya. Jalan takdir yang sedemikian misterius, selalu membuat kesulitan bagi manusia untuk menafsirkan. Takdir yang penuh dengan kerahasiaan selalu membuat hati manusia ingin tau tentang awal dan akhirnya. Tapi jalan takdir tetap pada kerahasiaan yang semestinya, tak pernah tersentuh oleh tangan-tangan manusia.
Walau rasa penasaran tetap saja menghalangi manusia, takdir selalu bergerak dengan kenyataannya. Tak pernah ada manfaat yang didapat setelah mengetahui takdir masa depan seseorang. Semua hanya akan jadi beban, sebab takdir memang tak pernah bisa diubah tanpa restu Sang Maha Esa. Jadi apa gunanya mengetahui masa depan, jika takdir terus berjalan dengan semestinya.
Sepertinya aku benar, aku telah menemukan orang yang tepat dalam memahami takdir-Nya. Aku telah menapaki jalan yang benar dan memilih untuk memperjuangkannya. Sekali lagi aku telah memilih jalan yang tepat, dan aku tak pernah menyesal telah mencintai Maya. Walau akhirnya aku tak mendapatkannya, walau akhirnya dia bukan takdirku. Tapi memperjuangkannya adalah hal yang patut untuk disyukuri sebagai kenikmatan.
“Ren, sekali lagi aku minta maaf. Rasa milikmu tak bisa ku balas, perjuangan yang kamu lakukan hanya berakhir sia-sia. Aku minta maaf untuk semua harapan yang tanpa sadar ku berikan. Bukan aku ingin membenarkan perbuatanku, tapi aku tak bisa menolak kenyataan” pungkasnya mengakhiri.
Aku menangkap pesan yang tertulis dari wajah Maya. Ia yang begitu tulus minta maaf, tak mungkin ku balas dengan penolakan. Toh cuma sebuah kata maaf yang ia minta, bukan nyawaku. Apa aku setega itu, hingga tak bisa memaafkan orang yang telah berkali-kali minta maaf dengan tulus? Sepertinya tidak, aku tak setega itu.
***
Tapi ada hal yang juga ingin ku sampaikan pada Maya. Harus ku sampaikan sekarang, sebab aku takut tak sempat mengungkapkannnya jika ku tunda lagi. Hal itu bukan tentang rasa cintaku padanya, bukan masalah kemarahan, kekecewaan, atau semacamnya. Aku hanya ingin mengungkapkan satu hal yang memang harus ku ungkapkan padanya.
“Sekarang boleh gantian yang ngomong?” aku memulainya dengan ramah, seperti Maya yang tadi memulainya dengan ramah pula. Maya menatap curiga, entah kenapa, aku juga tak tau. Mungkin ia merasa terancam dengan apa yang ingin ku utarakan. “Boleh??”, aku meminta persetujuannya lagi, dan kali ini Maya menganggukkan kepala tanda persetujuan.
“Oke, aku akan memulai dengan permintaan maaf pula, sepertinya tak adil jika aku tak meminta maaf pula kepadamu, May.” Aku berhenti sejenak, mencoba mengatur kembali kalimat yang akan ku sampaikan. “Satu hal yang sampai sekarang belum bisa ku mengerti, melupakan mu sangat sulit bagiku. Kebodohanku adalah terus membiara kan luka ini menganga dengan mengingat mu, tanpa coba untuk menutupnya. Sebenarnya lebih baik ku biarkan saja semua mengalir dengan waktu, yang perlahan tapi pasti akan menyembuhkannya secara alami. Lalu aku tersadar, ternyata ini bukan luka, tapi sebuah rasa yang coba ku potong sendiri, sehingga membuat ku terluka parah.”
Maya hanya terdiam, ia terus mendengarkan seperti aku yang juga mendengarkannya beberapa saat lalu. Maya tak memotong ucapan ku, meski ku tau hatinya terpotong-potong ketika mendengar ucap ku. Ya, kadang aku tak bisa menguasai perkataanku sendiri, aku selalu membiarkan semua perasaan ku keluar jika sudah berkata-kata. Aku berucap sesuai dengan keadaan hatiku, walau aku sadar hal itu menyakiti orang lain.
“Aku baru tersadar barusan, bahwa aku terlalu mencintaimu, dan sayangnya aku tak bisa melupakan rasa cintaku padamu.” Aku mencoba sejujur mungkin pada Maya tentang perasaanku, meski itu sudah terlambat.
“May, sejujurnya aku bukan orang yang mudah mengikhlaskan sesuatu. Mengikhaskan adalah hal yang paling sulit bagi diriku. Entah kenapa seperti itu, mungkin karena aku orang yang sentimentil, atau mungkin aku adalah orang yang melihat dengan cara berbeda. Aku tak tau jelas tentang kepribadian ku sendiri.” Sejenak ku berhenti, lalu ku lanjutkan lagi,“Tapi aku tau benar apa yang harus ku lakukan. Aku setuju dengan ucap mu tadi, bukan kita yang menghendaki ini, namun takdir kita yang tak berada dalam satu jalan.”
Maya mulai tersenyum setelah kalimat terakhir ku. Entah apa yang ia rasakan hingga senyum manisnya kembali merekah. Tapi aku bersyukur bisa melihat senyum darinya, sekali lagi. Mungkin aku melihat senyum itu untuk terakhir kali, dan akan ku simpan kenangan itu dalam sanubari ku.
“Jika memang takdir lah yang membuat kita tak bertemu, berarti takdir pula lah yang membautku jatuh hati padamu. Mungkin jatuh hati padamu adalah salah satu garis takdir yang harus ku jalani. Jadi untuk apa aku melawan takdir ku sendiri, semua yang tergariskan akan seperti itu kenyataannya. Tak ada penyesalan dariku telah mencintaimu, dan ku rasa hal itu tak perlu.” Aku mengakhiri kalimat ku, mencoba mengisyaratkan pada Maya diriku tak terbebani oleh kenyataan ini.
Maya terdiam sebentar, entah apa yang ia pikirkan, mungkin kata pamit atau semacamnya, sebab dari awal aku telah melihat gelagatnya yang ingin segera mengakhiri pembicaraan ini. “Baiklah, mungkin aku harus pamit sekarang, dan terima kasih telah mencintai ku dengan luar biasa.”
Maya pun berdiri, melangkah menuju pintu keluar. Ia meninggalkan ku sendiri disini, dan tiba-tiba notif berbunyi, Bagas mengirim chat whatsapp. “Bagaimana??” tulis Bagas dalam chat itu.
Bagaspati dari tadi memang duduk di kursi berbeda dengan tempat kami berada. Entah kenapa ia memaksa untuk ikut, sepertinya ia khawatir jika aku tak bisa menerima kenyataan. Tapi tak terjadi apa pun, kekhawatiran Bagaspati tak terbukti, ia terlalu berlebihan. Aku pun membalas chatnya.
“Semua selesai” tulisku dalam caht itu. Ku kirimkan pada Bagaspati dan berbalik menatapnya yang duduk di belakangku dengan senyum puas.
Sekian.
Shoumer
Malang, 6 September 2019
0 Komentar