Di sebuah pesantren salaf para santri tengah mengikuti kajian kitab kuning yang diberikan pengasuh pondok. Entah kenapa, kitab kuning yang satu ini langsung dikaji oleh pengasuh pondok sendiri. Mungkin karena hanya satu orang yang menguasai kitab itu, dan ialah pengasuh pondok pesantren tersebut.
Tak terasa malam semakin larut, kajian kitab itu pun selesai di tengah-tengah bab yang sedang dibahas. Diakhiri bacaan hamdalah dan doa penutup, lalu kiyai pengasuh pondok kembali ke kediamannya. Hal itu pun diikuti oleh para santri yang hilir mudik kembali ke kamarnya masing-masing. Salah satu santri, semua orang memangilnya Kang Asrul, menuju kamarnya di ujung lorong bangunan lantai dua.
Asrul membuak pintu dengan tangan kanannya, sembari menggendong kitab kuning di lengan kirinya. Dalam kamar ia mendapati seorang kawan yang tengah asik dengan Hpnya. Entah apa yang dilihat kawannya, tetapi terlihat jelas keseriusan saat anak itu menatap layar Hp. Asrul penasaran dengan teman sekamarnya lantas bertanya “Lho Kang, gak ngaji tha?”
“Ngaji Kang, tapi Pak Manab enek undangan dadi rodok cepet ngajine” jawabnya.
“Oh ngunu tho” tanggap Asrul pada kawan sekamarnya yang bernama Misbah.
Asrul pun menuju lemari yang ia pakai untuk menyimpan barang-barangnya. Di kamar itu hanya ada dua lemari, yang satu milik Asrul, dan satunya lagi milik Misbah. Seperti kebanyakan pondok salaf, tak ada tempat tidur di sana, para santri hanya beralaskan tikar tipis untuk mengurangi dingin lantai saat tidur. Kamar-kamarnya sangat sederhana, berhiaskan baju yang digantung dan beberapa kaligarafi arab. Tidak ada yang istimewa, hanya kamar sederhana untuk melepas lelah setelah selesai mengkaji kitab atau bekerja.
“Lagi nontok opo tho Kang, kok serius temen ketoke” Asrul memulai pembicaraan.
“Iki lho Kang, nontok youtube, lagi viral kasus penistaan agama” jawab Misbah menanggapi.
“Oalah, koyok ngunu kok yo didelok, mending nontok sholawatan, utowo gambusan, Sabyan iku lho apik, penyanyine ayu.” Tanggap Asrul.
“Ayu endi karo Ning Zulfa hayo?” goda Misbah menyebut salah satu putri kiyai pengasuh pondok.
“Husstt, ojo ngomongne Ning Zulfa, konangan pak yai, modar sampean.” Sanggah Asrul.
Misbah sontak menutup mulutnya, ia tau membicarakan putri gurunya amatlah terlarang. “Lali” ucap Misbah cengar-cengir.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan dari luar pintu kamar dan diikuti suara setelahnya “Kang, Kang Asrul??!!”
Asrul mengenal betul suara itu, salah satu putra kiyai pengasuh pondoknya, suara Gus Manan. Secepat mungkin Asrul membuka itu dan menyahut “Geh Gus.”
Setelah Asrul membuak pintu, tampak olehnya sosok anak muda, lebih muda darinya, usianya masih di bawah duapuluh, namun kewibawaan sudah tampak dari raut wajahnya. Asrul dan Misbah menatap hormat pada anak muda ini, kewibawaannya sudah seperti kiyai pengasuh pesantren tempat mereka menimba ilmu. Walau begitu Manan tak memandang Asrul dan Misbah sebagai seorang santri, dari pondoknya, mereka sudah seperti teman sejawat yang saling mengenal cukup lama.
“Kang, sesok kon ngeterke Mbak Zulfa nang Kediri, Mbak Zulfa te nang resepsie kancane, iso kan?” ucap Manan.
Misbah menutup mulutnya, dengan sekuat tenaga ia coba menahan tawa yang ia tujukan pada Asrul. Sementara Asrul sedikit ragu, tentu ia tak akan diajak masuk ketika menghadiri resepsi pernikahan teman Ning Zulfa. Tapi berada satu mobil dengan Ning Zulfa, pasti terasa aneh, apalagi jika mereka hanya berangkat berdua, apakah itu wajar. Semua pemikiran itu masuk melewati benak Asrul, sebelum Manan melanjutkan kaliamtnya.
“ Oh iyo, Anin melok sisan, Anin mekso jalok melok ae karo Mabk Zul.” Kalimat itu menenangkan Asrul, hati yang diselimuti rasa bimbang mulai normal kembali.
“Geh Gus” Asrul menyanggupi, ia tunduk patuh seolah perintah itu dari kiyainya.
“Kang aku turu kene maneh yo,” lanjut Manan “Nang omah aku diriwuki Anin karo Ali pas ngerjakne tugas” tanpa persetujuan Manan pun melangkah pergi.
“Iyo Gus, tapi gowo bantal dewe, bantale gak cukup” kata Asrul.
Manan mengacungkan jempolnya pertanda menyetujui hal itu. Manan sering sekali tidur di kamar Asrul, alasanya karena kedua adik kecilnya sering menggangunya. Maka dari itu, Manan tidak betah berada di rumah, dan lebih memilih tidur di kamar Asrul dan Misbah. Manan lebih banyak menghabiskan waktu di pondok, hingga ia begitu dekat dengan Asrul dan Misbah.
Setelah Manan pergi, Asrul menutup puntu kamar dan berbalik ke arah Misbah. Misbah yang sedari tadi menutup mulut untuk menahan tawan, lantas mebuka mulut dan melepaskan tawa yang tak tetahan lagi. Asrul menyuruh Msibah diam dengan isayarat jari telunjuk di depan bibirnya. Tapi Misbah yang sedari tadi menahan tawa, tak bisa berhenti, setelah tawa itu dilepaskan.
“Wis dikandani tho, ojo ngomongke keluargane yai, modar sampean.” Misbah mengulang ucapan Asrul bebrapa saat yang lalu, setelah itu tertawa kembali.
“Matane!!” umpat Asrul pelan, ia tak berkomentar setalah itu. Asrul menuju lemarinya, mengambil salah satu kitab yang ingin ia baca, untuk sekedar mengulang pelajaran.
“Wis tho, lek seneng yo dang dilamar, marine kiatbe wis katam, kok cek angele.” Celetuk Miabah menyindir Asrul yang mulai membuka kitabnya.
Asrul menutup kembali kitabnya seraya berkata “ora segampang iku Kang” sanggah Asrul.
“Kok ngunu?” tanya Misbah menyelidik.
“Lek cuma gadis biasa ae gapopo, lah iki Ning Zulfa e, hafidzoh Quran, sungsang, apal Alfiyah, sungsang. Mok bandingke karo aku, Alfiyah ae tas katam, lek bandingne seng genah ra!, aku yo sadar sopo awak iki” protes Asrul dengan nanda tinggi.
“Sampean lho wis lulus kuliah, cumlaude maneh, wis apal Alfiyah, keluarga sampen yo termasuk keluarga mampu, terus te nyapo maneh?” sanggah Misbah.
“Iki Ning Zulfa Kang, putrine pak yai, anggite aku Arjuno, aku duduk Arjuno” ucap Asrul
“Maksute?” tanggap Asrul.
“Arjuno iso rabi anake begawan, amergo meguru lan nguwasani ilmu gurune, lah aku.” Jawab Asrul “aku dorong iso opo-opo, ilmuku iseh cetek. Aku ra gelem koyo wong seng viral wingi nane, ilmu durung jangkep wis wani dalil, salah sebut ayat dielingke ra gelem.”
“Iku kasusue piye seh Kang?, sampek saiki aku ra mudeng babar blas” Misbah penasaran.
“Jere seh wong ra iso moco kitab, sok-sokan dadi ulama. Pas nyebut ayat, keliru. Embuh surat piro seng disebut, isi surate cuam 111 ayat, seng diwoco sampek ayat 136, kan aneh. Seng 25 ayat nambah teko endi jajal?” Asrul menjelaskan yang ia ketahui dari kabar yang beredar.
“Kang, ngunu kuwi opo gak wis ngelanggar syariat a?, kan Al-Quran iku gak oleh ditambah lan dikurnagi?” Misbah lebih penasaran.
“Sakjane wis nyalahi aturan, tapi yok opo meneh, wonge ngengkel” tanggap Asrul remeh.
“Terus yok opo kabare hukum yo?” tanya Misbah lagi.
“Lek secara hukum agomo koyoke wis pantes diqisos, lek secara hukum negoro iku podo ae penistaan agomo.” Asrul berhenti sejenak, megingat-ingat semua hal yang berkaitan, “iling gak?, biyen pernah enek gubernur seng dipenjara gara-gara nafsirne Al-Quran sak enek e. Masio gubernur iku wong kafir, mesti ae lek salah ngartekne ayat, tapi amergo ngelanggar hukum negoro, tetep dikasusne, amergo nentang salah siji ayat nang Al-Quran” uangkap Asrul.
“Iyo aku iling, kejadian iku dadi gede sampek gae geger sak negoro, tapi masalahe gubernur iku ora ngerti, yo mesti salah nafsirne. Podo ae ngukum wong gendeng, kan ra pantes. Wong ra ngerti iku diajari, duduk dipekso supoyo ngerti” tanggap Misbah.
“Nah, cocok” timpal Asrul menyetujui.
***
Tiba-tiba Manan menerobos masuk dalam kamar Asrul dan Misbah. Memang seperti itulah Manan, karena terlalu akrab dengan santri-santri ayahnya, jadi tak ada rasa sungkan sedikitpun pada mereka. Manan langsung mengambil posisi di tengah ruangan, meletakkan leptop dan bantal yang ia bawa. Setalah membuka leptopnya, ia mencari beberapa file dan membuka satu persatu untuk mengerjakan tugas.
Setelah Manan masuk, Misbah kembali dengan kesibukannya melihat layar HP, sementara Asrul mulai membaca kitab yang ada di tangannya. Asrul membaca lembaran-lemabaran kitab, mencoba mengulang pelajaran yang telah ia dapat. Suasana menjadi sunyi setelah Manan masuk, entah karena Manan, atau karena pembicaraan Asrul dan Misbah telah usai. Tapi yang jelas, suasana menjadi sedikit sunyi dengan kegiatan dari masing-masing penghuni kamar malam ini.
“Lho, kok dadi meneng-menengan?, mau koyok rame seh” ucap Manan memecah sunyi dalam kamar.
Asrul sempat terkejut, bagaimana ia akan menjawab, tadi ia dan Misbah membicarakan kakak permpuan Manan untuk beberapa saat. Apa mungkin kali ini ia akan membicarakan hal itu di depan Manan. Asrul pun mencari pengalihan “Ora Gus, iku Kang Misbah sibuk karo Hpne, makane lali lek enek kancane.”
“Lho??” Misbah kebingungan, “kok aku, sampean dewe yo sibuk moco kitab sampek ra ngriyip blas ngunu” protes Misbah.
“Iyo, terus aku sibuk karo tugasku, dadi ra kenek diajak ngomong, ngunu tho?” timpal Manan.
“Geh boten Gus” sanggah Asrul.
“Mau ngomongke opo seh?” tanya Manan penasaran.
Belum sempat Misbah membuka mulut, Asrul sudah menjawab pertanyaan Manan. “Iki lho Gus, masalah sing lagi viral, masalah penistaan agomo salah siji ulama gedhe nang negoro iki.”
“Seng endi seh?, kan biasane yo ngunu, omongane wong duwur mesti dadi viral” tanggap Manan.
“Masalahe iki tetep penistaan agomo Gus, masio agomo lio seng di elekke, tetep ae iku jenenge penistaan agomo” sanggah Asrul
“Terus, amergo agomone wong iku islam, kudu dibelo wae, masio kelakuane ngelarani atine wong liyo. Rosullulah wae ora ngunu waktu dakwah nang Mekah utowo Madinah. Kanjeng Nabi ae iseh gelem toleransi, maiso ngendikan agomo selain islam iku ora pener” imbuh Misbah.
“Terus sing pener piye Kang?” tanya Manan menyelidik.
“Yo bali nag surat Al-Kafirun ayat 6, tho Gus” ucap Misbah.
“Iyo seh” ucap Manan menyetujui. “masio aku rodok curiga lek enek seng nyetir teko buri. Tapi tetep ae, jenenge penistaan agomo yo tetap kudu diurus secara hukum. Tapi seng jelas, lek wis masaah agomo yo dadi tanggungane dewe-dewe tho, opo seng dadi kelakuanmu nang dunyo, yo dadi tangunggjawabmu dewe besok nang akirat, dudu dadi tanggungjawabe wong liyo.” Manan berfikir sejenak seraya berkata “Lah iyo, Gusti Allah Kang Moho Agung wae iseh nyandang sifat rohman rohim waktu ngendiko nang wong kafir. Buktine roso welas asihe Gusti Allah isih ketoro ing dalem surat Al-Kafirun.”
“Kok iso ngoten Gus?” tanya Asrul.
“Lah ora iso piye, Gusti Allah wus dawoh, sajruning alam iki gadahipun Gusti Allah piyambak, sekabeane alam iki termasuk wilayah kerajaan nipun Gusti Allah Kang Moho Agung. Lan sopo wonge ora gelam patuh marang printahe, sumonggo metu teko wilayah kerajaane. Tapi saiki wong kafir, musrik, munafik, fasik, isih keduman riski sangking Gusti Allah, ra usah wong-wong mau, iblis wae sing jelas-jelas nentang printahe Gusti Allah iseh diwenwhi pangonan nang tengah segoro. Lah kok kroco-kroco sing ilmune luwih cendek tinimbang iblis, amergo keangkuhane, amergo rekosone, iso ngomong ngungkuli angkuhe iblis.” Asrul dan Misbah mengangguk pelan sembari memahami apa yang diucapkan Manan.
“Saiki pikir wae, Gusti Allah dawuh dateng Rosul, Rosulullah dikengken gowo peringatan dateng kafir qurois. Tapi hidayah teko amergo pikantuk ridho nipun Gusti Allah, berariti Rosul ora iso ngubah kekafirane kaum qurois tanpo ridho nipun Gusti Allah piyambak, terus awak dewe iso opo, seng jelas-jelas derajate luwih cendek soko Rosulullah sholalullahu alaihi wassallam.” Misbah dan Asrul menjawab serampak “Shollualaih”
“Leres Gus,” tanggap Asrul, “lek dipikir-pikir terahno aneh, Rosulullah wae, seng pikantuk anugrah kamulyan koyo mengkono wae ora dumeh, dakwah e kanjeng nabi yo nganggo boso seng alus, sopan waktu dawuhaken firmane Gusti Allah. Kok uamte saiki sombonge ngungkuli iblis.”
“Lah saiki malah enek wong ngaku ulama, pas dalil salah, moco ayat ngawur, dielingke malah ora trimo” timpal Misbah.
“Sing endi maneh iku?” tanya Manan penasaran.
“Seng viral pirang ulan wingi lho Gus, ceramahe gaya, koyok ualam tenan, ngeroso paling bener dewe karo omongane” sambung Asrul.
“Yo bener opo seng diomongke karo dosenku, omongan lek diomongke wong liyo iku ora soyo sudo, tapi malah soyo tambah. Lek jere arek-arek embongan, sak ombo-ombone alas, luweh omboan alasan” Manan tertawa diakhirkalimatnya yang diikuti Asrul dan Misbah.
“Terus ngunu kuwi hukume piye Gus?” tanya Asrul setelah tawa reda.
“Qisos!” tegas Manan, “sopo wong kang wani nambah utowo ngurangi isi ne Al-Quran, getihe khalal demok lemah.”
“Masio wong iku ngaku muslim?” sergap Misbah.
“Iyo lah” jawab Manan singkat.
“Terus piye hukume gae wong ra ngerti?” Asrul kembali bertanya.
“Aku gak negrti maneh lek masalah iku, aku dewe durung mantep soal ilmuku, amergo lek menurut fahamku wong dimakfu iku telu, lali, kepepet, karo ra ngerti” Manan coba menjawab sebisanya. “Seng jelas aku durung pantes nentukke babakan iku” pungkas Manan.
“Tapi aneh lho Gus, lek secara hukum negoro, perbuatan iku wis masuk penistaan agomo, podo koyo kasusue gubernur seng kenek cekel pirang tahun kepungkur. Nyapo seng saiki ora yo? Kasuse koyo podo ae seh” sanggah Asrul.
“Iku kan babakanne negoro, duduk babakanku, toh aku yo gak pingin ngurusi masalah iku. Seng iso tak simpulne cuma sitok, kabeh kejadian iki koyo wis diatur lan enek seng dalangi, tujuane opo, aku yo ra ngerti, seng pesti ora apik gae negoro iki” jawab Manan. “Tapi aku iki sopo, ra iso garayai atine menungso siji-sijine, aku ra iso cawe-cawe babakan niate menungso sapodo-podo, aku mung makhluk duduk Khalik.”
“Bener Gus, pak yai geh pernah negdikan, ojo grayai batine menungso, dudu pener seng tinompo, malah salah kabeh ing prasongko.” Ucap Misbah semabari mengingat salah satu petuah yang pernah diberikan kyai pengasuh pesantrennya.
“Lho sampean kok wis teko babakan kunu Kang?” tanya Manan terkejut.
“Yo pas bejoku wae Gus, iso mireng yai ngendikan koyo puniko” jawab Misbah
“Leres Kang, opo seng dilakoni menungso nang dunyo iki tergantung takdir soko Gusti Allah Kang Moho Wicaksono. Opo seng diuber kadang ra entuk-entuk, opo seng wis dadi takdir pesti teko masio wis mlayu sak dawane dalan” ucap Manan.
“Iyo, terus nyapo sampean mlayu soko takdire Gusti Allah?” sergap Asrul.
“Maksute??” selidik Manan.
“Lho oyeng cah iki” Asrul tertawa dengan ekperesi yang ditunjukan oleh Manan. “Lah sampean iku wis diajari, disekolahne, dikon jukuk jurusan tarbiyah, tapi kok malah melayu golek jurusan liyo” ucap Asrul.
“Nyapo yo??, aku yo bingung e” tanggap Manan.
“Lah, oyeng tenan bocah iki” cletuk Asrul.
“Ngene lho maksutku Kang, aku lek mirsani bapak iku koyo rekoso ngelakoni uripe. Tanggungjawabe iku koyo-koyo gede banget, aku ngeroso gak pantes wae” Manan menjelaskan apa yang ia rasakan saat ini.
“Urip penak koyo ngunu kok dianggep abot to Gus” sanggah Misbah.
“Lek disawang uripe bapak koyok penak-penako, tapi lek ngerasakne, puyeng” sanggah Manan.
“Makane, bok yo ditrimo ae takdire, Gusti Allah ra bakal mulosoro wong sing pasrah sangking takdire” ucap Asrul.
“Nah, bener jere Kang Asrul iku, toh masio sampean mlayu, lek wis dadi takdir, sampena ora bakal iso ngindar, sak rekosone sampean nolak takdir iku” imbuh Misbah.
“Terahno kang, sak dawane aku mlayu, aku tetap petuk karo dalan seng iku-iku ae. Masio aku ngaleh teko kene, seng tak temui yo pencet ae, ibarate masio aku golek dalan liyo, balike tetep nang pangonan awal maneh” sambung Manan.
“Yo iku takdire sampean, kok pancet ngengkel nolak ae!!” sergap Asrul.
Merekapun kembali tertawa bersama, solah beban yang mereka pikul hilang. Manan pun juga ikut tertawa, walau dalam benaknya terbersit satu pemikiran yang tidak bisa ia hilangkan. Mungkin ia sudah menyerah untuk lari dari takdirnya, atau mungkin ia akan mencoba untuk lari lagi. Tapi satu hal yang Manan dapat ambil, ia akan selalu kembali ke titik yang sama.
***
“Saiki aku arep tekon Gus,” Misbah memulai kembali pembicaraan, “sampean wis kesel playon?”
“Yo wis kesel sakjane, lah tetap nang kunu-kunu wae i, koyok gaenak tujuan liyo maneh” jawab Manan.
“Yo, terimo ae tanggungjawab iku, ra usah diingati maneh” Misbah memberi saran.
“Tapi aku binggung sijie kang,” ucap Asrul, “lek Gus Manan wis kesel mlayu, nyapo gak mandek wae?, buktine Gus Manan jek kuliah nang jurusan seng saiki dijukuk” tanya Asrul penasaran.
“Lho iku bedo kang, iku masalah liyo maneh” sergap Manan.
“Maksute piye Gus?” tanya Misbah.
“Opo seng tak mulai kudu tak akhiri, aku kudu marekne opo seng wis tak bangun soko awal. Embuh kanggo opo ora, iku urusan keri, seng penting aku wis ngelakoni” jelas Manan.
“Koyo urip yo Gus, lek wis diawali, pestine kudu diakhiri sisan, masio asile gak sesuai karo kepingine, seng penting wis enek usaha gae ngelakoni” ucap Misabh.
“Leres,” Asrul menguatkan, “tapi ojo lali, takdir iku wis digariske, ora onok seng iso selak soko takdire Gusti Allah.”
“Iyo lah, takdir iku kudu tinompo senajan angel, Gusti Allah ra bakal ngeculne mahluke ngunu wae nang alam dunyo” tanggap Manan.
“Ojo lali lho yo!” Asrul menguatkan.
“Pokok gak dilalekne wae.” Tawa pun kembali pecah diantar mereka bertiga.
Sementara malam semakin larut, mereka terus mengisinya dengan candaan-candaan kecil. Sekedar mengistirahatkan saraf yang tegang, melepas kepenatan siang lalu. Dan malam semakin larut dengan candaan dari mereka. Malam semakin larut, semkain larut tanpa mengubah aliran waktu.
“Gus, iku tugase sampean wis mari durung?” tanya Asrul
“Mari, lek durung mari yo dikerjakne sesok maneh” jawab Manan remeh.
“Lek wis mari, gek dang dipateni lampune ngunu lho, gek turu terusan” ucap Asrul
“Iyo, wis jam 11 bengi lho, sesok aku jek enek penggawean” timpal Misbah
“Yo wis, patenono lampune, aku tak meremne motoku” ucap Manan.
“Dang turu, ojo karipan maneh subuh e, gepyok sorban maneh karo pak yai mengko” celetuk Asrul setelah mematikan lampu kamar.
“Gara-gara sampean iku tho, aku ra dibugahi” sanggah Manan.
“Jere sopo ora dibugah, wis diuyek-uyek pancet ra melek mripate” protes Asrul. “Lek kenek gepyok, yo rasakno” imbuh Asrul.
“Ngunu yo ngomong nang bapak lek aku nang kene” protes Manan.
“Pak yai tekon sampean nendi kok, mosok arep ngapusi” sanggah Asrul.
“Yo ngapusi titk ngunu lho” sergap Manan
“Wegah, ilmuku ra barokah mengko lek sampek ngapusi guruku dewe” tampik Asrul.
“Wis, turu kono lho, kerah ae yo!” sergap Misbah yang mulai terganggu dengan perdebatan Asrul dan Manan.
Setelah perdebatan itu selesai, mereka pun tidur, beralaskan karpet tipis dengan sunyi malam yang dingin di kamar pondok. Tak ada obrolan, semua telah terbuai dalam mimpi masing-masing. Mereka tertidur pulas dalam gelapnya malam, di hamparan dunia yang sunyi. Semua menjadi sangat kecil, dibanding kehidupan alam semesta yang luas terhampar dalam alam dunia ini.
Sekian.
Saumer
Malang, 10 September 2019
1 Komentar
Admin numpang promo ya.. :)
BalasHapuscuma di sini tempat judi online yang aman dan terpecaya di indonesia
banyak kejutan menanti para temen sekalian
cuma di sini agent judi online dengan proses cepat kurang dari 2 menit :)
ayo segera bergabung di fansbetting atau add WA :+855963156245^_^
F4ns Bett1ng agen judi online aman dan terpercaya
Jangan ragu, menang berapa pun pasti kami proseskan..
F4ns Bett1ng
"JUDI ONLINE|TOGEL ONLINE|TEMBAK IKAN|CASINO|JUDI BOLA|SEMUA LENGKAP HANYA DI : WWw.F4ns Bett1ng.COM
DAFTAR DAN BERMAIN BERSAMA 1 ID BISA MAIN SEMUA GAMES YUKK>> di add WA : +855963156245^_^