Witing Tresno Jalaran Soko Kulino
(Sismaku)
“Hai” setelah lama tak bertemu, Krisna memberanikan diri untuk menyapa Ranis terlebih dahulu. Mereka ada janji untuk bertemu di caffe di dalam mall tempat biasa mereka bertemu dulu. Karena mereka inigin memperbaiki hubungan persahabatan yang dulu sempat renggang dengan sebuah masalah diantara mereka.
Ranis yang canggung dengan pertemuan itu hanya melempar senyum manis kepada Krisna yang berdiri di hadapannya. Ranis tak percaya rasanya, bisa bertemu lagi dengan teman lama yang sempat ia benci karena perbuatannya yang keterlaluan. Ranis masih tak habis pikir dengan perbuatan Krisna yang membuatnya harus berselisih paham dengan pacarnya waktu itu. Tapi semua itu sudah berlalu dan Ranis lebih memilih memaafkan Krisna.
Mungkin karena Krisna mengungkapkan perasaannya kepada Ranis di waktu dan kondisi yang tidak tepat. Krisna memang sedikit memaksakan kehendaknya atas Ranis waktu itu. Walau sebenarnya Krisna hanya mengungkapkan apa yang dia rasa dan mencoba untuk membuat Ranis mengerti akan hal itu. Tapi malah membuat persahabatan di antara keduanya menjadi retak dan menimbulkan konflik dalam persahabatan mereka.
Mungkin ini salah Krisna yang ingin sekali cintanya terbalas oleh Ranis atau mungkin Ranis lah yang bersalah karena terlalu membela pacarnya tanpa memikirkan perasaan Krisna. Itu sudah tidak menjadi persoalan lagi, tentang siapa yang salah dan siapa yang benar. Ranis ingin memulai hubungan yang baru bersama Krisna sebagai seorang sahabat. Sedang Krisna hanya ingin dekat dengan sang pujaan hati, meski tanpa harus memilikinya.
Krisna memulai pembicaraan setelah jeda sebentar karena kecanggungan yang mereka hadapi berdua. Kresna menanyakan kabar Ranis sebagai pembuka percakapan.
Ranis menjawab “Aku baik-baik saja, gimana dengan mu???”
“Tetap seperti ini,dan terus saja berharap yang lebih baik??”, gaya bicara Krisna yang tidak bisa ditiru oleh orang lain.
“Apa maksud mu dengan terus berharap??” ungkapan sinis yang dilontarkan oleh Ranis atas jawaban Krisna yang mengganggu hatinya.
“ Nggak ada, aku cuma berharap untuk kehidupan yang lebih baik, itu aja.” Krisna tak tau dengan apa yang dimaksud oleh Ranis, dan menjawab sesuai apa yang ia rasakan.
“Udah lah Kris, kalau kamu terus bahas masa lalu mending aku pergi aja.” Ranis mengambil tasnya dan meninggalkan tempat itu. Ia tak peduli dengan Krisna yang mengejar dan meminta untuk didengarkan. Ranis tak peduli walau Krisna sampai berteriak memanggil namanya di depan umum.
Krisna tak peduli lagi, ia mengejar Ranis dan ingin menjelaskan tentang kesalahpahaman yang terjadi diantara mereka. Krisna terus mengejar Ranis yang menghindar darinya karena tersinggung. Krisna mengejar samapai dekat dengan Ranis untuk minta didengarkan. Sebelum Ranis melangkah lebih jauh, Krisna menggenggam tangan Ranis untuk menghentikan langkahnya.
“Ran, denger penjelasan ku dulu.”, Krisna berkata.
“Apaan lagi sih Kris!!!”, Ranis berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Krisna. “Nggak ada lagi yang perlu dijelasin dan kamu nggak akan pernah berubah. Kamu tetep ngotot sama perasaan kamu yang harus didengar sama semua orang.” “kamu nggak pernah bisa nerima pendapat orang lain tentang kamu. Nggak semua orang bisa ngerti dan mau nurutin mau kamu Kris!”.
“Oke, aku nggak akan bicara tentang masa lalu, jika itu menyinggung perasaan kamu, aku akan diam dan tetap menjaga mulut ku untuk tidak mengungkit tentang masalah itu.” Krisna mencoba meyakinkan Ranis dan mencoba untuk membuatnya tidak marah lagi dengan dirinya.
Semula Ranis meragukan Krisna yang ingin meminta maaf. Tapi akhirnya Ranis pun menerima permintaan maaf dari Krisna dan memberi kesempatan lagi.
Kesalahpahaman itu memang sering terjadi di antara mereka sejak Krisna menyatakan cintanya dan bermasalah dengan mantan pacar Ranis. Kresna sering sekali mengucap kata yang membuat hati Ranis tersinggung. Mungkin Krisna tak pernah sengaja dengan hal itu, semua terucap begitu saja sesuai dengan isi hatinya. Tapi hal itu selalu membuat Ranis salah paham dengan apa yang coba diungkapkan oleh Krisna. Entah Ranis yang tidak bisa mengerti atau Krisna yang tidak bisa mengungkapkan isi hatinya dengan baik.
“ Terus, sekarang kita mau apa???” lanjut Krisna.
“Oke, sekarang aku mau nonton, kamu yang beli tiket sama popcronnya, aku yang nunggu di depan bioskop.” Perintah Ranis.
“Oke”, jawabnya singkat.
Krisna pun pergi menuju bioskop yang ada di mall, untuk membeli tiket sebuah filem. Krisna melihat poster-poster filem yang terpampang di dinding untuk memilih filem yang ingin dia tonton. Terlihat Krisna bingung memilih filem mana yang ingin dia tonton bersama Ranis. Krisna takut jika Ranis tidak suka dengan filem yang akan dipilihnya. Makanya ia sangat berhati-hati memilih filem yang akan ditonton, karena tidak ingin membuat Ranis kecewa.
Setelah menimbang dan menghadapi konflik batin yang melelahkan untuk memilih sebuah filem, akhirnya Krisna menetapkan pilihannya. Ia memilih filem yang dianggapnya Ranis pasti suka dengan ceritanya. Ia menghampiri Ranis, memberikan pop cront dan tiket filem yang akan di tonton.
Awalnya Ranis agak kecewa dengan pilihan Krisan, karena dia sudah pernah menonton filem ini. Dia sempat protes kepada Krisna yang memilih filem tersebut, Krisna hanya diam, mendengar omelan dari Ranis. Tapi akhirnya Ranis menerima filem yang dipilih oleh Krisna, ia beralasan filemnya seru layak untuk ditonton lagi.
Sebenarnya Krisna sangat jengkel dengan hal itu, dalam hati ia berkata “Dasar cewek, dari dulu sampai sekarang tetap saja menjengkelkan”.
“Kenapa Kris???, marah???” dengan mata melotot seperti menghardik Krisna.
Krisna menggelengkan kepala, dan tersenyum manis untuk meredam suasana. Ia menjawab “ Aku kan nggak pernah marah, walau kamu ngeselin banget.” “Aku kan selalu senyum saat kamu bener-bener jadi orang yang menyebalakan seperti dulu.”
“Oh jadi aku dari dulu nyebelin” Ranis mulai marah.
“Enggak sih, walau pun kamu senyebelin apa pun, dari dulu kan aku nggak pernah marah sama kamu.” Krisna mencoba sedikit menenangkan perasaan Ranis.
“Huh” Ranis terlihat sangat kesal dengan pernyataan Krisna.
“Udah ayo kita masuk nanti ketinggalan filemnya, terus kamu nyalahin aku lagi. Ayo!!!”, Krisna mendorong tubuh Ranis ke depan mengarah ke pintu masuk ruangan pemutaran filem.
Ranis yang masih kesal sedikit berontak dengan perlakuan Krisna, tapi ia menurut saja dengan Krisna yang mendorongnya.
Krisna dan Ranis sudah berada ditempat duduk mereka, mereka berapa kali berkomentar tentang adegan yang mereka tonton. Tapi dibanding dengan melihat filem di depannya, Krisna lebih tertarik melihat bidadari cantik yang berada di samping kanannya. Ia lebih tertarik melihat wajah Ranis yang selama ini hilang dari pandangannya. Sudah sekian lama wajah cantik itu tak terlihat langsung oleh mata Krisna. Krisna selama ini hanya bisa memandang foto Ranis untuk mengobati rasa rindu yang hampir membunuhnya.
Mungkin saat ini Krisna tak ingin kehilangan kesempatan untuk memandang wajah cantik yang selama ini ia rindukan. Baginya keindahan dunia ini tak dapat dibandingkan dengan satu kecantikan dari wajah seorang Ranis. Entah kenapa Krisna begitu tergila-gila dengan Ranis, ia sungguh tak bisa melupakan cintanya. Walau Ranis terang-terangan menolaknya, ia tetap tak peduli, Krisan terus saja menumbuhkan rasa cintanya, tanpa pernah mencoba membunuh rasa itu atau meminta balasan dari rasa itu. Krisna hanya peduli dengan cintanya dan tak peduli akan balasan, atau rasa lelah dalam menunggu. Entah hatinya terbuat dari apa, atau otaknya yang terbalik sehingga cara berpikirnya tak sama dengan orang lain. Dia selalu berpikir, dengan menunggu ia akan mendapat apa yang ia mau, walau harus menghabiskan waktu seumur hidupnya. Krisna tak pernah menghitung dengan pasti ia telah berapa lama menunggu Ranis. Ia hanya menghitung berapa keindahan yang dapat ia lukiskan dari seorang Ranis.
Setelah filemnya selesai pun, Krisna tetap mengarahkan pandangannya pada Ranis. Ia tak peduli dengan filem yang sedang diputar, ia hanya peduli dengan satu hal yaitu Ranis. sampai mereka keluar dan berada di pembatas lantai pun, Krisna tetap menatap kerah Ranis. Mata Krisna yang terus menatap kepada Ranis, lama-lama membuat Ranis tak enak hati. Ia merasa ditelanjangi oleh Krisna yang dari tadi mengarahkan pandangan kepadanya.
“Entar aku colok nih, kalo masih ngeliatin aja!!!” Ranis mengarahkan dua jarinya ke arah mata Krisna.
“Oke, aku nggak neliat lagi”, Krisna menagkupkan kedua tangan ke wajahnya untuk perlindungan.
Dari celah jari Krisna coba mengintip keadaan, ia memastikan tangan Ranis sudah turun dan tak mengancam matanya lagi. Setelah dirasa aman Krisan menurunkan tangannya dan mengalihkan pandangannya jauh ke bawah tempat orang-orang berlalu-lalang. Ia bersandar pada pembatas, sedikit membungkukkan badannya, dan terus memandang ke bawah.
Sementara Ranis membelakangi pagar pembatas sambil menyandarkan tubuhnya yang jangkung. Ia berdiri tepat di samping Krisna, dan memainkan HP-nya tanpa peduli dengan Krisna. Mereka tak saling pandang dan tak saling bertutur kata, mereka hanya sibuk dengan sesuatu yang mereka anggap penting. Mungkin karena suasana yang canggung dikarenakan masih ada sisa-sisa kenangan masa lalu mereka berdua.
Setelah diam yang sangat lama, Ranis coba mengawali pembicaraan, “Kris, masihkah ada rasa itu???”
Krisna tak bicara, membungkam mulutnya dengan kedua tangan agar janji yang dibuat tetap dipegang olehnya. Krisna tak ingin jawabnya membuat hati Ranis kembali sakit seperti dulu. Ia menjaga betul perasaan Ranis untuk membuatnya tetap dekat dengan dirinya. Karena Krisna tak pernah berharap memiliki Ranis, ia sudah cukup bahagia dengan adanya Ranis di dekatnya.
Tak ada yang lebih membahagiakan hatinya saat ini selain bisa dekat kembali dengan Ranis. Maka dari itu, Krisna tak ingin merusak kebahagiaannya dengan berada di dekat Ranis, walau hanya sebentar.
“Kris, Kris…., jawab dong!!!” Ranis mencoba melepas tangan Krisna dari mulutnya.
Tapi Krisna tetap kekeh dengan pendiriannya dengan makin kuat mendekap mulutnya seraya menghindar dari Ranis.
“Kenapa sih, nggak mau jawab, aku kan nanyak serius.” Celetuk Ranis dengan ketusnya. “Oke kalau nggak mau jawab aku pulang aja!!” gerutunya terhadap kelakuan Krisna.
“Oke, oke aku jawab. Tapi kan aku udah janji nggak mau ngungkit tentang masa lalu”.
“Janjinya ku hapus, sekarang jawab pertanyaan ku tadi!!!” Ranis menarik kembali sebuah janji dengan mudahnya., tanpa pikir panjang dan pertimbangan yang matang.
Krisna dibuat bingung dengan sikap Ranis yang sering berubah-ubah itu, ia hanya bisa menggelengkan kepala untuk mengungkapkan rasa herannya terhadap Ranis.
Lalu dengan mantap bagas menjawab “Iya, rasa ini masih ada.”
“Kenapa setelah sekian lama kamu tak lagi melihat ku, tak mendengar suaraku, tak berada di samping ku, rasa itu tetap ada untuk ku.” Penuh tanya dalam hati Ranis, kenapa masih ada rasa cinta di hati Krisna untuknya.
“Entahlah, aku juga tidak habis pikir, kenapa aku bisa bertahan dengan rasa ini begitu lama. Sekitar lima tahun mungkin aku bertahan dengan rasa ini, cukup lama juga ya, tapi aku merasa baru kemarin aku jatuh cinta sama kamu”. Krisna mencoba menjelaskan apa yang ia rasakan.
“Banyak upaya dari ku untuk melupakan kamu sebenarnya, tapi semuanya sia-sia, tak ada gunanya, malah semakin bertambah rasa ini”.
“Mungkin itu cuma obsesi yang ingin kamu dapatkan, kamu nggak benar-benar cinta sama aku, tapi cuma terobsesi sama khayalan yang ada di kepala kamu aja”. Sanggah Ranis atas pernyataan Krisna yang mulai menyudutkannya.
“Mungkin”. Jawab Krisna enteng, sembari mengarahkan tatapan kosong keluar. “Tapi aku rasa ini bukan hanya sekedar obsesi ku. Aku merasa benar-benar mencintai kamu, entah karena alasan apa aku mencintai kamu. Aku tak melihat mu hanya dari fisik, atau hal lainnya. Aku hanya melihat kamu dari sudut pandang ku yang selalu nyaman di dekat mu. Mungkin juga karena hanya kamu yang mau menjadi teman dekat ku, jadi aku merasa kesepian yang dulu menyelimuti ku hilang setelah hadirnya dirimu.” Krisna menjawab dengan tenang dan mantap, bukan untuk menujukan keseriusan atas cintanya kepada Ranis, tapi karena ia ingin jujur tentang semua yang dirasakan olehnya.
Ranis hanya mengangguk dan mencerna semua perkataan Krisan tanpa tanggapan. Ia masih bingung dengan omongan Krisna itu, tulus dari hatinya atau hanya sebuah kebohongan yang dibuat-buat.
“Nis, aku nggak pernah bisa lupakan rasa ini, bagi ku rasa cinta kepadamu adalah obat untuk menambah semangat ku dalam mencapai tujuan yang aku cita-citakan. Pernah aku coba untuk melupakan kamu dan mengejar cinta yang lain, tapi hidup ku malah berubah menjadi kehampaan, aku tak tau harus berbuat apa, dan seperti ada yang hilang dari diriku.” Krisna menatap Ranis tajam, coba meyakinkan akan perasaannya yang sangat membutuhkan seorang Ranis.
“Tapi Kris, buakn ini yang aku inginkan. Aku cuma menganggap kamu sebagai teman dan aku nggak bisa balas rasa cinta kamu.” Ranis tetap pada pendiriannya.
“Aku nggak perlu balasan, aku hanya perlu untuk dianggap ada, aku nggak pengen miliki kamu, aku hanya ingin melihat mu baik-baik saja, dan aku nggak pengen rasa cinta kamu, aku hanya butuh dekat dengan kamu. Aku hanya ingin merasakan ketenangan yang ku peroleh dulu saat masih jadi temanmu. Bagiku itu sudah cukup untuk ku, aku tak butuh yang lain.” Krisna coba untuk lebih meyakinkan Ranis lagi.
“Tapi Kris, itu sama sekai tak adil untuk kamu. Aku nggak mau menyakiti siapa pun hanya untuk kebahagiaan ku sendiri, aku nggak bisa seperti itu.” Ranis tak ingin membohongi hati nuraninya sendiri.
Sebelum Krisna ingin mengungkapkan sanggahnya, handphonnya berdering. Ibunya menelfon untuk minta dijemput oleh Krisan dari sebuah acara. Ia pun menyanggupi permintaan ibunya, dan memilih meninggalkan Ranis dan konflik di antara mereka. Krisna berpamitan singkat untuk mempercepat ia sampai ke tempat ibunya. Krisna hanya mengucapkan selamat tinggal dan alasan kenapa ia pergi.
Sementara Ranis tetap di tempatnya, melihat dari belakang tubuh Krisna dan berfikir tentang semua ucapannya. Ranis pun melihat ketulusan dalam omongan Krisna. Hatinya mulai tersentuh dengan kegigihan dan ketulusan Krisna dalam menunggu cinta darinya. Ranis mulai menaruh simpati terhadap sosok Krisan yang ia kenal.
Eantah apa yang terjadi kepada Ranis, yang semula memegang teguh prinsipnya, sekarang luluh dengan sendirinya. Mulai ada rasa yang menjalar dalam diri Ranis untuk seorang Krisna. Tapi entah itu adalah rasa suka, cinta atau hanya kasmaran saja, yang dirasakan oleh Ranis terhadap Krisna. Walau Ranis belum tau apa yang sedang ia rasakan, yang jelas ada pepatah Jawa mengatakan Witing Tresno Jalaran soko Kulino, yang artinya suka karena terbiasa.
Sekian.
Malang, 10 Januari 2017
0 Komentar