Keresahan Sastra Modern: Ketika Kreativitas Terjebak di Antara Klise, Algoritma, dan Kehilangan Makna

 


Dunia sastra saat ini, alih-alih menjadi oase ketenangan dan refleksi, justru dipenuhi oleh keresahan yang mendalam. Di tengah melimpahnya produksi dan kemudahan akses berkat teknologi, sastra modern tampaknya berada di persimpangan jalan: antara idealisme artistik dan tuntutan pasar, antara inovasi dan repetisi, serta antara kedalaman makna dan keringnya sensasi. Keresahan ini adalah cerminan dari pergulatan identitas sastra itu sendiri di era digital yang serba cepat dan konsumtif.

Salah satu keresahan terbesar adalah homogenisasi konten dan dominasi klise. Alih-alih menjadi ladang subur bagi ide-ide orisinal dan suara-suara baru, banyak platform dan penerbit cenderung memprioritaskan "formula sukses" yang telah teruji. Hasilnya, kita dibanjiri oleh novel-novel dengan tema yang monoton: kisah-kisah romansa yang dapat ditebak, petualangan fantasi yang mengulang arketipe lama, atau drama keluarga yang berkisar pada konflik yang itu-itu saja. Tuntutan pasar yang rakus akan "apa yang laku" mematikan keberanian penulis untuk bereksperimen, menciptakan labirin klise yang membuat pembaca merasa lelah dan kehilangan semangat untuk membaca. Sastra, yang seharusnya menjadi ruang eksplorasi, kini terasa seperti pabrik yang memproduksi barang yang seragam.


Ketika Algoritma Menggantikan Kurator

Keresahan ini diperparah oleh peran dominan algoritma dan media sosial. Algoritma platform digital seringkali memprioritaskan visibilitas berdasarkan metrik seperti engagement atau jumlah unggahan, bukan kualitas estetis atau kedalaman narasi. Ini menciptakan tekanan bagi penulis untuk memproduksi konten secara harian, yang merusak proses kreatif yang seharusnya membutuhkan perenungan dan waktu. Sastra menjadi komoditas yang harus diproduksi cepat, bukan sebuah karya seni yang membutuhkan kematangan.

Di sisi lain, media sosial membentuk cara baru dalam mengonsumsi dan menilai sastra. Novel atau puisi sering kali direduksi menjadi kutipan-kutipan pendek, review singkat, atau book-tag yang viral. Ini membuat nilai sebuah karya lebih ditentukan oleh popularitas di media sosial daripada oleh substansi intrinsiknya. Penulis, dalam upaya untuk relevan, mungkin tergoda untuk menulis demi bookstagram atau booktok, alih-alih menulis dari hati. Peran kurator dan kritikus sastra, yang seharusnya menjadi penjaga mutu, kini terpinggirkan oleh "demokrasi" review yang serba instan, di mana setiap pendapat dianggap setara tanpa pertimbangan mendalam.


Kehilangan Fungsi Sastra sebagai Cermin dan Pemandu

Keresahan terakhir dan yang paling mendasar adalah potensi sastra yang kehilangan fungsinya sebagai cermin, pemandu, dan perombak. Di tengah pusaran klise dan algoritma, banyak karya modern gagal merefleksikan kompleksitas realitas sosial saat ini dengan kejujuran yang mendalam. Alih-alih menantang norma, mereka justru memperkuatnya. Alih-alih memprovokasi pemikiran, mereka memberikan kenyamanan yang dangkal. Sastra yang seharusnya menjadi alat untuk memahami diri dan dunia, kini banyak yang hanya berfungsi sebagai hiburan pelarian (escapism) yang tidak meninggalkan bekas.

Ini adalah kerugian besar. Di era disinformasi, krisis iklim, ketidakadilan sosial, dan pergulatan identitas yang kompleks, kita membutuhkan sastra yang berani, jujur, dan mampu membimbing kita melalui kegelapan. Kita membutuhkan puisi yang mengembalikan sensitivitas kita, novel yang menantang pandangan kita, dan cerita yang mengingatkan kita pada kemanusiaan kita. Namun, keresahan yang ada menunjukkan bahwa sastra modern seringkali kesulitan memenuhi peran vital ini, terjebak dalam dilema-dilema internal yang menghambat potensinya.

Untuk keluar dari keresahan ini, dunia sastra perlu melakukan refleksi. Penulis harus berani kembali pada idealisme artistik mereka, menolak tekanan pasar dan algoritma. Kritikus dan kurator harus kembali menegaskan peran mereka sebagai penjaga mutu. Dan pembaca, dengan kesadaran penuh, harus mencari dan mendukung karya-karya yang jujur dan berani. Hanya dengan begitu, sastra dapat kembali menemukan kilau uniknya, menjadi mercusuar yang menerangi jalan, bukan sekadar pajangan yang memudar di tengah keramaian.

Posting Komentar

0 Komentar