Sejarah peradaban manusia adalah untaian benang yang ditenun oleh gagasan, inovasi, dan ekspresi. Dalam untaian itu, seni dan sastra selalu menjadi benang emas yang memberikan warna, bentuk, dan makna. Keduanya bukan sekadar hiasan atau pelengkap kemewahan; mereka adalah cerminan jiwa suatu bangsa, pemandu moralnya, dan pengingat akan kemanusiaan kita yang rapuh. Oleh karena itu, ketika sebuah negeri mulai mengabaikan, meremehkan, bahkan mematikan seni dan sastra, ia sesungguhnya sedang menuliskan naskah kehancurannya sendiri, perlahan namun pasti, dari dalam.
Kehancuran ini dimulai dengan merosotnya empati dan pemahaman antarmanusia. Sastra, melalui narasi dan karakter, membawa kita ke dalam pengalaman orang lain, memaksa kita melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda. Seni visual, dengan ekspresi warnanya, mampu menyampaikan emosi tanpa kata. Ketika kanal-kanal empati ini mengering, masyarakat menjadi lebih individualistis, intoleran, dan apatis terhadap penderitaan sesama. Dinding-dinding kesalahpahaman meninggi, dan jembatan-jembatan dialog runtuh. Masyarakat yang kehilangan empati adalah masyarakat yang rentan terhadap konflik internal, polarisasi, dan dehumanisasi.
Hilangnya Nalar Kritis dan Kemampuan Berpikir Orisinal
Selanjutnya, kehancuran juga termanifestasi dalam hilangnya nalar kritis dan kemampuan berpikir orisinal. Seni dan sastra mendorong kita untuk bertanya, merenung, dan melihat melampaui permukaan. Puisi yang ambigu memancing interpretasi, novel yang kompleks menantang pandangan dunia, dan lukisan abstrak memprovokasi pemikiran di luar batas rasional. Ketika stimulasi intelektual semacam ini ditiadakan, masyarakat menjadi lebih mudah menerima informasi mentah tanpa filter, lebih rentan terhadap propaganda, dan kurang mampu berinovasi. Pendidikan hanya akan menghasilkan pekerja, bukan pemikir. Kebijakan publik akan kering dari visi, dan solusi-solusi masalah akan bersifat dangkal, hanya menyentuh permukaan tanpa memahami akar permasalahan.
Kekosongan Spiritual dan Kesenjangan Moral
Pada level yang lebih dalam, pengabaian seni dan sastra menciptakan kekosongan spiritual dan kesenjangan moral. Seni adalah salah satu cara manusia mengekspresikan pencarian makna, keindahan, dan transendensi. Sastra adalah tempat kita bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensial tentang hidup, mati, cinta, dan kehilangan. Tanpa medium-medium ini, masyarakat akan kehilangan kompas moralnya, berjuang untuk menemukan tujuan di luar materi dan kekuasaan. Nilai-nilai luhur akan memudar, digantikan oleh hedonisme semata atau fanatisme buta. Kehilangan arah ini adalah resep sempurna untuk keruntuhan etika dan moralitas, yang pada akhirnya akan menghancurkan kohesi sosial.
Sebuah Peradaban Tanpa Ingatan dan Harapan
Akhirnya, negeri yang mengabaikan seni dan sastra akan menjadi peradaban tanpa ingatan dan tanpa harapan. Sastra adalah arsip jiwa kolektif. Ia mengabadikan sejarah bukan hanya dari segi fakta, tetapi juga dari segi perasaan, perjuangan, dan impian manusia yang menjalaninya. Ketika arsip ini tidak lagi dibaca atau diproduksi, generasi mendatang akan terputus dari akar mereka, mengulangi kesalahan masa lalu karena mereka tidak pernah belajar darinya. Lebih dari itu, sastra dan seni memberikan ruang bagi mimpi, utopia, dan imajinasi masa depan. Tanpa seni, visi tentang masa depan akan kering, terbatas pada hal-hal pragmatis semata. Sebuah masyarakat tanpa impian adalah masyarakat yang berhenti berkembang, stagnan, dan akhirnya membusuk dari dalam.
Maka, perhatikanlah sebuah negeri yang mulai menutup museumnya, mengabaikan perpustakaannya, membungkam penyairnya, dan meremehkan senimannya. Di sana, bukan hanya kreativitas yang mati, melainkan jiwa peradaban itu sendiri yang sedang meredup. Kehancuran sebuah negeri tidak selalu datang dari invasi militer atau bencana alam, tetapi seringkali dari dalam, ketika ia kehilangan kemanusiaannya, dan itu dimulai saat gemuruh seni dan sastra tidak lagi didengar.
0 Komentar