Sastra adalah cermin peradaban. Ia merekam zaman, membentuk pemikiran, dan mengolah rasa. Namun, di tengah banjirnya tulisan yang beredar saat ini, sebuah ironi besar mulai terlihat: banyak penulis, terutama yang baru bermunculan, seolah abai terhadap cara penerapan sastra dalam karya mereka. Akibatnya, yang kita temukan adalah teks yang secara permukaan mungkin menarik, tetapi hampa dari kedalaman dan jiwa sastra yang sesungguhnya.
Fenomena ini adalah PR besar bagi kritik sastra. Bukan lagi sekadar menilai baik buruknya sebuah tulisan dari segi plot atau karakterisasi, kritik sastra kini harus berhadapan dengan fondasi yang goyah: pemahaman dasar penulis tentang apa itu sastra, dan bagaimana ia seharusnya mewujud dalam tulisan.
Apa yang hilang?
Pertama, kedalaman tematik. Banyak tulisan beredar yang terasa dangkal. Isu-isu kompleks seringkali disederhanakan hingga kehilangan esensinya, atau bahkan diangkat tanpa penggalian yang memadai. Sastra yang baik seharusnya mampu mengajak pembaca merenung, mempertanyakan, bahkan berkonfrontasi dengan ide-ide yang disajikan. Ketika penulis tidak mempertimbangkan bagaimana tema-tema tersebut harus disajikan secara berlapis dan memprovokasi pemikiran, yang tersisa hanyalah hiburan sesaat tanpa dampak jangka panjang.
Kedua, kekuatan bahasa dan gaya. Bahasa adalah alat utama sastrawan. Namun, kita sering melihat tulisan yang menggunakan bahasa seadanya, tanpa eksplorasi diksi, metafora, atau gaya bertutur yang khas. Sastra bukanlah sekadar menyampaikan pesan, melainkan juga bagaimana pesan itu disampaikan. Penggunaan bahasa yang cermat, indah, dan inovatif adalah ciri khas sastra. Ketika penulis mengabaikan ini, karya mereka kehilangan daya pikat artistik dan kemampuan untuk meninggalkan jejak emosional pada pembaca.
Ketiga, pertimbangan terhadap bentuk dan struktur. Sastra memiliki berbagai bentuk, dari puisi, cerpen, novel, hingga esai. Masing-masing bentuk memiliki konvensi dan tantangannya sendiri. Penulis yang baik memahami bagaimana struktur dan bentuk dapat memperkuat pesan yang ingin disampaikan. Namun, tidak jarang kita menemukan tulisan yang seolah dipaksakan masuk ke dalam suatu kategori tanpa mempertimbangkan apakah bentuk tersebut benar-benar paling efektif untuk materi yang diangkat. Ini menunjukkan kurangnya pemahaman tentang bagaimana elemen-elemen formal sastra berkontribusi pada makna keseluruhan.
Mengapa ini terjadi?
Beberapa faktor mungkin berkontribusi pada fenomena ini. Akses mudah ke platform publikasi digital telah membuka pintu bagi siapa saja untuk menerbitkan. Meskipun ini positif dalam banyak hal, ia juga berarti saringan kualitas menjadi kurang ketat. Selain itu, mungkin ada kesalahpahaman bahwa popularitas sama dengan kualitas sastra. Penulis mungkin lebih fokus pada viralitas atau jumlah pembaca daripada pada kedalaman dan kekayaan artistik tulisan mereka.
Tantangan bagi Kritik Sastra
Kritik sastra memiliki peran krusial di sini. Daripada hanya menjadi penilai pasif, kritik sastra harus proaktif dalam mendidik dan membimbing. Ini berarti:
Meningkatkan literasi sastra: Mengedukasi penulis dan pembaca tentang elemen-elemen fundamental sastra, dari gaya bahasa, struktur, hingga kedalaman tematik.
Mendorong refleksi: Mengajak penulis untuk lebih sering merenungkan "mengapa" dan "bagaimana" mereka menulis, bukan hanya "apa" yang mereka tulis.
Memberikan umpan balik konstruktif: Memberikan kritik yang tidak hanya menyoroti kelemahan, tetapi juga menawarkan panduan konkret untuk perbaikan.
Jika tidak ada perhatian serius terhadap masalah ini, kita berisiko melihat sastra kita kehilangan taringnya, mereduksi dirinya menjadi sekadar hiburan picisan yang cepat datang dan cepat pula terlupakan. Sastra bukanlah sekadar deretan kata, melainkan seni yang membutuhkan pertimbangan matang dalam penerapannya. Hanya dengan kembali ke esensi ini, kita dapat memastikan sastra tetap menjadi kekuatan yang relevan dan mencerahkan bagi peradaban kita.
0 Komentar